Kisah Malem Jumat: Naik Gunung (Berdua) Di Merapi Part 2

 



Based on true story. Kejadian medio 2004.

Sebelum kuajak naik gunung di Tlatah Jawa, Kang Paijo aku tanyai. Sampeyan pernah naik gunung tengah malam belum? Dia bilang pernah, walau cuma sekali. Semacam marathon hiking di negara enggres sana. Dia juga pernah naik gunung di daerah tropis. Ok, lulus tahap eliminasi dia.
Hanya saja ada satu hal yg susah kujelaskan. Ini soal mitos dan cerita seram. Apalagi dia ini paling tidak percaya hal-hal begitu. Kuputuskan untuk tidak menceritakan apapun kepada Kang Paijo. Biarlah jika nanti kita bertemu mba K(unti) dijalan, mungkin memang mau kenalan sama bule ini. Aku pun hanya bercerita sekedarnya. Geography, nama gunung, kondisi masyarakat, aktivitas letusan, mitigasi bencana. Bla bla bla... soal demit dan sebagainya biarlah hanya aku yang mengalami. Resiko aku tanggung sepenuhnya.
Pukul 11 malam aku dibangunkan. Bapaknya gak berani bangunkan Kang Paijo. Didapur rupanya aku mendengar orang memasak. Jam segitu ternyata kami dibuatkan nasi goreng. Buat orang bule yg gak biasa sarapan jam 12 malam, berat Kang Paijo menolak. Sebagai penghormatan dimakan juga itu sepiring dengan telor ceplok.
Guide kami namanya mas Wawan. Sebaya dengan aku, badannya juga sepantaran. Dia terlihat pendiam dan agak ogah2 an. Mungkin karena setengah dipaksa nemenin kami karena katanya dia belum lama turun gunung. Waktu saat itu menunjukkan pukul 1 pagi saat kami berangkat. Secara teori, naik ke Merapi dari Selo ditempuh 5-7 jam. Targetnya sih sunrise sudah mendekati puncak.
Jalan dari Pos I menuju Pos II biasa aja. Memang sih agak tricky karena lewat ladang. Disitu pentingnya Mas Wawan, si guide kami ini. Walau kami naik tengah malam, tapi waktu itu cukup terang cahaya bulan. Kadang senter kami matikan, jalanan cukup mudah karena sering dilalui penduduk. Mas Wawan didepan, aku di tengah dan Kang Paijo di belakang. Aku gak terlalu ingat, tapi waktu itu lancar-lancar saja. Hingga melampaui Pos II di ketinggian 2400mdpl kami bablas saja hingga subuh mencapai lokasi Pasar Bubrah.
Ini dijamanku disebut naik gunung tiktok (bukan TikTok app jogetan itu). Artinya gak nginap atau setting camp. Istilah kerennya minimalis. Jadi kita memang gak bawa tenda, apalagi alat masak dsb. Cukup day pack, minum dan makan secukupnya saja.
Pasar Bubrah punya reputasi level notorious, mungkin bisa disamakan viral babi ngepet. Banyak kisah jagat perdemitan tentang tempat ini. Padahal sebenarnya hanya sebuah tanah lapang kosong yang menyerupai gundukan landai sebelum summit attack. Untungnya karena kami gak rencana kemping disini, jadi stori serem-serem itu gak ngaruh buat kami. Sekitar pukul 530 pagi kami menginjakkan kaki di Pasar Bubrah. Matahari sudah mulai terlihat, dan udara terasa lebih hangat. Aku minta mas Wawan istirahat sebentar sebelum menyiapkan kaki ke tahap berikutnya.
Tak lama kami istirahat, entah kenapa tiba-tiba muncul deru angin luar biasa. Kami sempat berlindung di batu paling besar. Mas Wawan terlihat pucat, aku juga mulai was-was. Di sisi lain Kang Paijo kalem saja. Dia malah ngukur seberapa kuat angin dengan membiarkan dirinya dikenai sebentar. Halah cuma 30mph aja kok katanya. Walau angka ini kliatan nya rendah, tapi inget gan ini pake miles per hour yah. Otakku udah gak kuat utk konversi menjadi km per jam.
Mas Wawan menolak menemani kami naik puncak. Katanya ini pertanda gak baik. “Sepertinya kita gak boleh ke atas mba”, katanya memberi alasan dengan setengah gemetar. Aku yang bingung karena bagaimana menerangkan alasan ‘pertanda tidak baik’ ini pada Kang Paijo. Aku juga tahu jika alasan mbelgedes begini kusampaikan, bisa jadi Kang Paijo akan nekad naik sendiri.
Aku sempat bersitegang dengan Kang Paijo. Kubilang saja guidenya takut angin, wicis kedengaran gak make sense banget buat dia. Aku juga setengah membujuk mas Wawan untuk mau menemani. Sambil negosiasi dengan teriak-teriak ditengah badai akhirnya Mas Wawan menyerah. Dia hanya menemani setengah puncak, seterusnya kita seesaikan sendiri. Kami bergegas beranjak pukul 6 pagi.
Begitu naik melewati dinding terjal, angin tadi berhenti. Kami sampai ‘puncak’ dengan aman. Yang disebut puncak Merapi waktu itu sebenarnya adalah gundukan dinding kolaps setelah meletus besar akhir tahun 90an. Ada yang menyebut puncak Garuda atau nama lainnya. Whateverlah..
Kalau dijelaskan dengan mitos dan dunia perdemitan, cerita ini bisa berpanjang-panjang. Tapi kuambil hikmahnya dari kejadian ini. Bahwa ketakutan yang kita biarkan bisa menutupi akal sehat. Bagiku pengalaman naik gunung dengan orang yg skeptis dengan cerita serem itu paling menyenangkan. Gak ada udelnya, gak ada rasa takutnya. Aman gan..


(Next week: naik gunung Semeru juga berdua saja. Lebih serem 😂)
Gambar: puncak dengan view siluet Gunung Sindoro-Sumbing dikejauhan.

Comments