Kisah Malem Jumat: Naik Gunung (Berdua) Di Merapi Part 1


Based on true story. Kejadian medio 2004.

(Warning: ngga ada horror atau hantunya!)

Tadinya aku bersikeras sewa mobil ke Selo untuk mencapai desa terakhir. Tapi Kang Paijo menolak. “Naik bis umum aja kenapa sih?”, katanya sambil ngeyel. Aku cuma bergumam gak jelas. Mau berargumen balik kok males. Batinku, dasar sampeyan belum ngerasain ngetem di terminal. Pikiran jahatku muncul. Ah biarin.. sekalian di tes level survivornya dia hehehe..
Gak ada tiga hari kami mendarat di Pulau Jawa. Masih merem melek karena jet lag tapi Kang Paijo nekad pengen diajak naik gunung. Ini bule memang gak punya udel apa gimana. Baiklah kataku, mari kita kemon.
Gunung Merapi dipilih karena dekat rumah. Practically cuma naik beberapa tahap sudah nyampe di desa terakhir. Ada beberapa jalur ke puncak, termasuk lewat Selatan yg paling susah. Tapi demi keamanan bersama (saran ortu dan para sesepuh) kupilih jalur paling mudah. Aku sendiri belum pernah naik Merapi wicis sebuah kenyataan paling embarrassing. Karena sebagai orang Jogja, Merapi adalah keharusan. Lebih memalukan lagi karena kampusku di lereng Merapi dan sering kali menghabiskan masa kelamku (halah...) kelayaban di Kali Kuning, Mbebeng dan sekitarnya. Wes kurang nakal gimana?
Jadi Merapi itu target paling mudah, murah dan doabel gitu gan. Dan dengan pedenya kuajak Kang Paijo naik berdua saja. Biarlah nyamuk atau setan sebagai temanku 🤣🤣 (hihihi ngikik ketawa mba K). Eh tapi ini beneran. Salah satu saran orang tua adalah gunung ini punya karakter menarik, yaitu banyak kisah mitos dan cerita seram. Jadi mereka sudah mewanti wanti untuk play safe, apalagi ini bawa anak orang. Walau harus kuakui salah satu yg kusuka naik gunung di daerah tropis adalah dilakukan malam hari ketika cuaca masih dingin. Sepi... hanya suara jangkrik dan pikiran kita. Memang pas buat melarikan diri dari kepenatan duniawi (jiah..). Alasan yang sebenarnya sih karena Kang Paijo meminta diajak ke gunung-gunung yg masih aktif. Merapi adalah kandidat yang paling tepat.
Seingatku kami naik bis dari Jogja jurusan Solo, turun Kertosuro lanjut di Boyolali disambung naik angkot ke desa Selo. Karena ini pertama kali Kang Paijo naik angkutan publik, Kang Paijo dibiasakan bergabung dengan mbok-mbok penjual sayur dan ayam. Gak ada peristiwa menarik hanya beberapa mata memandang aku ini seperti guide gunung yang bawa bule miskin. Kang Paijo memang dari sononya sudah ditakdirkan terlihat dekil. Celana gunungnya ada bolong, belum sepatu boot gunung yg kliatan tua dan berlumpur. Apalagi backpacknya yg sudah berumur satu dekade disulam bendera Kanada, salah satu souvenir dia menaklukan Mt. Assiniboine di Alberta beberapa tahun sebelumnya. Lengkaplah sudah kami ini adalah backpacker luntang lantung.
Kami tiba di Selo sudah menjelang Maghrib. Begitu datang aku langsung diminta warga setempat ke tempat singgah. Setelah ngobrol dengan pemuka setempat, kami dicarikan guide. Wah gak jadi mendaki berdua nih..
Rumah yg saya singgahi ini sepi, khas rumah kampung yg dipakai menginap pendaki dengan open dipan yang bisa ditiduri 20-30 orang. Karena bukan wiken, malam itu sepi sekali. Hanya kami berdua, listrik pun tidak ada. Hanya ditemani lampu petromax di ruang tamu. Bapak yang menjaga rumah strongly suggested seorang guide karena status Kang Paijo yang bukan warga Indonesia. “Kalau ada apa-apa kami takut disalahkan”, begitu alasannya. Baiklah, akupun mengangguk setuju. Malam itu juga dicarikan seseorang yg bersedia mengantarkan kami. “Istirahat dulu saja mba, nanti sekitar tengah malam saya bangunkan untuk mulai persiapan”.

(bersambung)
Gambar dari Wikipedia


Comments