Ketika Nafas Hanya Sepenggal : Menyusuri Jejak Sejarah Menuju Kaki Sagarmatha (Bag 3)

 


Mingbo Glacier Himalaya
Gambar: Dokumentasi pribadi


Setiba di pertigaan desa Periche, mata saya tertumbuk pada bentuk piramida logam yang tertancap di pondasi melingkar. Tingginya tak sampai 2.5m menunjukkan segitiga yang terbelah dua. Penasaran saya dekati. Ram yang sudah berjalan mendahului saya rupanya telah menghilang. Nanung yang memutuskan turun bersama rupanya terpesona pada bentuk rumah dari batu. Saya dekati dan amati. 


Ah ya…ini adalah semacam memorial yang dibangun untuk menghormati penjelajah Everest baik Sherpa maupun pendaki dari Barat. Monument dibelah menunjukkan dua sisi Everest : Nepal dan Tibet. Di masing sisi belahan tadi, tercantum nama-nama para penjelajah Everest dimulai dari tahun 1922. Penasaran saya mencari nama yang terkenal itu. Iyah betul George Mallory dan Andrew Irvine dalam kolom yang sama. Tanggal 8 Juni 1924 adalah hari terakhir mereka terlihat masih hidup. Di atas nama mereka adalah Sherpa dari India bersamaan dengan para serdadu Gurkha. 

Hati saya tenggelam dalam keharuan yang tiba-tiba datang. Baru kali ini saya menemui monumen yang mencantumkan nama penjelajah dalam satu daftar panjang. Tidak peduli  apakah mereka dari tim Barat ataupun penduduk lokal. Sherpa, serdadu, pendaki tercantum dalam halaman yang sama. Monumen ini bukti bahwa setiap nyawa yang hilang di Everest adalah berharga, siapapun mereka. Ternyata di benak saya bahwa nyawa penduduk lokal dihargai begitu murahnya dalam dunia mountaineering menjadi berbalik. Masih ada orang yang mengingat mereka yang telah meletakkan dasar, membuat peta, membuat jalan, membawa barang, menemani hingga ke puncak gunung. Obsesi yang hanya bisa dipahami lewat kacamata pendaki. Setiap sukses dan kegagalan selalu ada pihak yang mengantarkannya. 

**


Sore itu pula saya bersiap dengan Nanung menuju pos klinik Himalayan Rescue Association –HRA di Periche. Pukul 3 nanti akan ada semacam kelas bagi para trekker tentang apa itu Altitute Sickness. Jalan ringan tadi pagi ternyata membuat badan lebih segar. Entah kenapa nafas berat yang saya rasakan ketika tiba kemaren sore seakan hilang. Nafsu makan masih susah, tapi nampaknya ini masalah mental. Untuk terus bertahan, energi harus terus dikonsumsi. Tidak bisa ditawar, makan adalah keharusan. 

Setelah minum teh bergelas-gelas untuk mengganti cairan tubuh, saya bergegas menuju jalan setapak disamping penginapan. Sebenarnya desa Periche ini begitu kecil. Mungkin hanya 20an rumah yang sebagian besar adalah untuk akomodasi trekker. Konstruksi yang terbuat dari batu dengan pelapis kayu sederhana sekedar menghangatkan ruang didalam jika suhu turun drastis.

Seperti layaknya losmen di tea houses, kamar tidur hanya berupa dipan. Alas tidur seadanya dengan matras tipis yang entah sudah berapa ribu kali dipakai. Ruang kami ada di pojok hingga agak ekstra lebar. Ada tiga dipan, tapi kami putuskan salah satu digunakan untuk menampung alat dan barang. Dinding tripleks yang membatasi per kamar membuat saya bisa mendengarkan trekker lain yang terserang batuk terus menerus. Batuk (high altitude cough) adalah pertanda fungsi jalur pernafasan yang teriritasi. Untunglah Nanung mengikuti anjuran Ram untuk bernafas di uap panas. Kami meminta air panas di baskom.  Dengan handuk dikepala Nanung membersihkan saluran nafasnya di atas uap tadi. “Sudah mendingan kok mbak, “ katanya meyakinkan. Ia juga membawa obat batuk dari Kathmandu yang menurutnya manjur membuat tidur. Saya sempat iri, semalam suara batuk membuat saya sulit memicingkan mata. Andai saja..

Tepat lima menit saya tiba di klinik. Ternyata tempat pertemuan dipindah di ruang kaca atau conservatory yang letaknya tak jauh. Biar hangat katanya. Di ruang berukuran 3x5m  itu sudah berjajar kursi yang diset memutar. Begitu mendekati pukul 3, ruangan ini tiba-tiba penuh. Ruang berdinding kaca ini jadi tidak sedingin sebelumnya, terlebih sinar matahari mulai sembunyi di balik gunung nan tinggi. 

Seorang laki-laki cukup berumur dengan jaket merah memperkenalkan diri. “My name Peter. Saya disini sebagai dokter sukarela yang dipekerjakan untuk membantu anda, para trekker jika menghadapi masalah kesehatan.” 

Dr. Peter –yang ternyata dari Yorkshire Inggris ini melanjutkan session dengan gambar dan grafik untuk menjelaskan apa itu AMS (Acute Altitude Sickness). Tanya jawab dengan diselingi demonstrasi membuat waktu cepat berlalu. Salah satu yang ditunjukkannya adalah Gammow Bag, yakni alat semacam sleeping bag dengan diisin udara yang dikompresi memakai sepeda. Alat ini adalah salah satu bentuk treatment di lapangan jika terkena AMS dalam medan yang sulit untuk dievakuasi. 

Menurut sang dokter, AMS adalah penyakit yang masih penuh misteri. Riset dan studi mengenai topik ini masih dilakukan. Bukti cukup meyakinkan kalau altitute sickness itu bukanlah masalah stamina. Tetapi bagaimana tubuh mampu menyesuaikan dengan cepat dalam perubahan lingkungan. Seorang yang nampak kuat kemungkinan akan mengalami AMS lebih fatal karena ia merasa percaya diri untuk mendaki dengan cepat. 

(bersambung)

Comments