Ketika Nafas Hanya Sepenggal : Menyusuri Jejak Sejarah Menuju Kaki Sagarmatha (Bag 1)

 


Khumbu Glacier dengan pasir abu-abu
Gambar: Dokumentasi Pribadi


Puluhan lungta –bendera kecil warna-warni berisi doa beterbangan ditiup angin kencang. Bendera itu teruntai dengan tali memanjang, menancap kuat di gundukan batu chorten. Laki-laki didepan berjalan dengan pasti. Ia menutupi muka menahan debu dan dinginnya terpaan angin Himalaya. Sekilas nampak lekukan Khumbu gleiser memanjang melewati Gorakshep menuju kaki Gunung Sagarmatha –nama yang digunakan orang Nepal untuk Mt. Everest. Ia berhenti, menunggu saya. Sahutnya, “Are you OK?”, Ram lelaki tadi memperlihatkan kekhawatiran. Saya mengisyaratkan dengan tangan, sambil mengangguk dengan mantab. Tak sanggup bicara. Seperti halnya trekker yang lain, debu dan tanjakan ini membuat langkah kaki terasa berat. Ram tidak yakin. Ia terus berjalan mendampingi. 

Tempat ini adalah bukit diantara desa Dingboche dan Pheriche. Persimpangan rute antara jalur trek menuju kaki puncak gunung tertinggi di dunia Mt. Everest dengan Island Peak (Imja Tse 6189m) dan Ama Dablam (6856m). Di ketinggian mendekati 5000m ini, oksigen menipis, membuat tubuh bekerja lebih keras. Bernafas disini seperti berada di ruang sempit. Saya teringat rasanya. Dada berdebar kencang, sakit kepala yang sukar digambarkan, tubuh seperti melayang dan nafsu makan entah kemana. Itulah gejala Altitute Sickness, yakni ketika tubuh dipaksa mengadopsi ketinggian tempat ektrem.


Hari ini adalah khusus untuk aklimatisasi, yakni membiasakan tubuh pada ketinggian sebelum menuju pos berikutnya Lobuche. Pendakian kecil sekedar melatih, tubuh untuk terbiasa pada ketinggian diatas 3,500mdpl. Ram, porter dari suku Tamang di Himalaya  memilih berjalan jauh di depan. Badannya yang ramping nan sigap, raut muka mengingatkan saya pada suku H’mong di Vietnam atau suku Lisu di perbatasan Thailand-Burma. Mereka ini adalah suku minoritas di pegunungan China yang menyebar hingga wilayah Asia. 

Sembari merenung, saya syukuri keberadaan disini. Hampir sepuluh hari saya berada di Nepal. Terbang ribuan kilometer melalui Singapura, transit di Bangkok hingga tiba di ibukota Kathmandu. Lantas  mengambil pesawat terbang mungil menuju Lukla melalui bandara paling berbahaya di dunia karena letaknya di gigir bukit nan tinggi. Disusul jalan kaki melewati pedesaan nan unik, bertemu penduduk yang ramah, sungai yang airnya berasal dari lelehan salju. Disambut lautan bunga rhododendron merah menyala, tempat ibadah yang kusyuk hingga tiba di desa Pheriche dengan hujan salju yang tebal. Hari ini meski jejak salju menghilang, saya menikmati keindahan panorama 360-derajad pegunungan Himalaya yang luar biasa. Apa sih yang bisa saya keluhkan? Saya nikmati tiap detik dan tiap helaan nafas yang berharga. Walau hanya sepenggal. 

Hampir sembilan puluh delapan tahun yang lalu seorang guru muda dari Inggris bernama George Mallory menjadikan Mt. Everest sebuah obsesi. Di awal tahun 1920an, Mallory adalah orang pertama yang mencapai gigir Chomalungma-sebutan Everest di wilayah Tibet dan mencatatkan diri sebagai orang barat pertama yang menginjakkan kaki di gunung tertinggi di dunia ini.  Di tahun 1852, ekspedisi pengukuran trigonometri memberi nama Peak XV sebelum akhirnya menjadi Mt Everest sebagai penghormatan pada Colonel Sir George Everest –sang jendral yang mendapat tugas untuk memetakan wilayah India hingga pelosok Himalaya. Nama setempat -Sagarmatha bagi orang Nepal ataupun Chomolungma yang berarti sang ibu suci untuk orang Tibet menjadi simbol kekuatan alam, tempat keramat yang tak dijamah.


Sang guru George Mallory pula yang melahirkan perlombaan menaklukan Everest . Dalam sebuah pernyataan legendarisnya saat ditanya reporter kenapa ia masih berkeinginan untuk melakukan ekspedisi hingga ketiga kalinya. Jawaban “because it’s there” menunjukkan kegigihan dan kemauan yang tidak dimiliki pendaki biasa. Ia siap berjuang hingga menyerahkan nyawa sendiri. Mallory tercatat menghilang secara misterius dengan kawan memanjatnya Andrew Irvine dalam  ekspedisi oleh British tahun 1924. 

Kematiannya menjadi teka-teki terbesar dalam dunia mountaineering selama 75 tahun. Untuk memecah misteri pada tahun 1999, sebuah tim dibentuk untuk melakukan pencarian kedua orang pendaki ini sembari mencari jejak peninggalan yang masih bisa dikumpulkam. Dipimpin Eric Simonson, tim berhasil menemukan mayat Mallory di ketinggian 8,115m. Spekulasi bahwa kedua orang ini berhasil mencapai puncak masih menjadi pertentangan. Dalam sejarah yang diterima oleh semua pihak, Everest ditaklukan di tahun 1955 oleh Edmund Hillary dan rekannya Tenzing Norgay. 



 (bersambung)

Comments