Mission (near) Impossible : Mengalahkan Frugal Traveller New York




Kota ini bagi saya punya magnet tersendiri. Sejarah panjang dari awal pendudukan suku India di lembah Hudson, aliran immigrant dari segala penjuru dunia –Irlandia, Italia, Jerman. Didudki imperialis Belanda, disusul Inggris hingga memerdekakan diri 1776 atas bantuan Perancis. New York adalah juga simbol moderinitas, ibukota kapitalisme di jagat ini. Kota yang mengalami tragedi keuangan dan tragedi kemanusiaan, yang meninggalkan gurat luka yang dalam di catatan sejarah.

Mungkin film seperti Gang of New York atau Sex and the City adalah inspirasi untuk menjelajah Big Apple. Tapi buat saya justru datang dari karakter Batman. Gotham City adalah refleksi langsung kejayaan era art deco dan art neuveu. Tapi juga menggambarkan kejahatan, kekotoran, korupsi, dan pembusukan urban.

Tapi reputasi itu yang membuat makin ingin kesana. Bukankah kota besar selalu memberikan dua muka? Cantik dan kusam. Kemegahan dan keterpurukan.

Persiapan saya tidak banyak. Diantaranya hanya membaca beberapa buku, salah satunya yang menarik adalah buku James Dean Died Here, sebuah buku katalog tentang landmark budaya pop di Amerika. Juga buku Lonely Planet New York City. Tadinya saya pilih Rough Guide terutama versi buku sakunya. Ternyata LP New York ini adalah terbitan paling baru (September 2008). Saya butuh buku ini terutama tentang peta dan transportasi serta perkembangan terakhir. Di buku LP ada peta kecil yang handy, sayangnya ngga ada kantong. Jadi terpaksa bikin sendiri.

Informasi lain saya baca dari koran NY Times Online dan versi cetak. Ada edisi yang menarik yakni artikel Frugal New York ditulis Matt Gross tentang strategi menikmati NY dengan murah. Lumayan memberikan info menarik. Selain itu adalah majalah lokal NY Magazine. Setidaknya saya harus memahami bagaimana bergerak menyusuri kota dan merencanakan agenda. Peta subway saya unduh dari MTA (Metropolitan Transport Authority) State of New York. Yang terpenting adalah bagaimana menuju kota ke bandara JFK (dan sebaliknya), juga system biayanya. Saya putuskan beli Metro Card begitu nyampe di stasiun kereta terdekat.

Membaca system alamat dan blok juga perlu dipelajari. Enaknya sih nama jalan New York mirip dengan San Francisco yaitu diurutkan dengan nomor, misalnya 77th St. Perencana kota membuat grid yang memudahkan pembagian area. Jadi jika nyari alamat cuma liat aja persilangan jalan antara A dan B. Saya melihat di Google Maps (non satellite) + Streetview untuk membangun peta imajinasi di ingatan, he he he sapa tau tersesat. Saya banyak dibantu petanya Pakde Google, terutama memilih lokasi hostel berdasar kedekatan dengan transport misalnya. Atau tempat yang saya mau disambangi. Kalau sempat buka Google Earth, bisa seperti berjalan di virtual NY. Soalnya bangunan tinggi udah dibangun secara 3dimensi. Dalam pelaksanaan di lapangan, saya masih konvesional alias mengandalkan peta kertas. Bukan henpon dilengkapi gps. Kenapa? He he he seperti ngisi teka-teki silang dibanding video games. Ngga bisa diadu deh.

Kostum juga ternyata harus saya perhitungkan. Bulan Desember di East Coast Amerika suhu bisa drop minus dengan cepat. Karena itu saya bawa ekstra fleece dan jaket tahan air (yang terbukti sangat berguna karena saya paling muaales bawa payung). Untuk ngecek cuaca di NY silakan disimak di Weather Channel. Cukup akurat memperkirakan besaran suhu dan cuaca hingga hitungan perbulan. Perlu diketahui Amerika make Fahrenheit jadi konversi dulu ke Celcius untuk bisa merasakan seberapa hangat/dingin.

Tiket pesawat saya beli langsung lewat Virgin America return San Francisco –JFK seharga US$271 ketimbang lewat travel agent online seperti Expedia atau Travelocity. Keuntungannya sih ngga ada fee tambahan. Penginapan saya perhitungkan berikutnya, setelah saya lihat hostel di NY berkisar antar US$19-30 permalam untuk dormitory/asrama (female only atau nyampur 4). Tidak perlu pesan, saya pede aja untuk go-show atau telpon. Ternyata saya ditawari tempat oleh seorang kawan Indobackpacker, mbak Nuki di daerah Upper East Side Manhattan. Jadi ngga perlu mikir lagi yaks..

Saya putuskan beli NY City Pass, yakni mengunjungi 6 tempat dengan harga US$74. Keputusan ini dirasa manfaat banget di waktu sibuk. Yups dengan City Pass kita ngga perlu antri untuk memasuki tempat2 tadi karena kita sudah pegang tiket di tangan. Saya tinggal print out voucher untuk ditukar segepok tiket di salah satu tempat dalam daftar.

Walau cuma empat hari, saya ngerasa siap. Saya juga bertekad untuk tidak terlalu ambisius mencobai semua tempat. Pertimbangan saya adalah tergantung pada cuaca, waktu dan stamina. Ketika musim dingin, matahari sudah tenggelam pukul 4 sore, jadi terbatas sekali untuk kmana-mana. Target saya adalah bisa mengalahkan Frugal Traveller NY Matt Ross yang menghabiskan $539.07 untuk weekend saja. Saya ingin buktikan New York tidak semahal yang diduga. Jika diberi kesempatan, saya bisa kembali.

Semoga saja…

Comments