Seperti Marilyn Monroe



Menginjak Hollywood Boulevard seperti melihat paradoks. Cahaya menyilaukan dari deretan teater yang absurd seperti Odditorium-nya Ripley -Believed it or Not bahkan deretan clubhouse yang mulai bergairah menjelang tengah malam.

Saya terdampar disini, Saturday Night ketika denyut birahi Hollywood terasa di urat nadi. Inilah tempat antara 'fame dan notorius' begitu tipis. Antara 'shameful dan interresting' menjadi blur. Trotoar mulai disinggahi perempuan berdandan menor, bergaun pendek menonjolkan kaki panjang. Beberapa diantaranya seolah membiarkan mata-mata jelalatan menelanjangi tiap inchi bagian tubuhnya. Saya teringat Marilyn Monroe.

Dia adalah wajah dan figur american dreams. Perempuan paling fenomenal, paling kontroversial hingga kematian dan sesudahnya. Menjadikan Hollywood linier dengan Gedung Putih, menjadikan jalan lurus ini simbol kekuatan perempuan. Bukankah ia perempuan yang membuat iri siapapun yang ditakdirkan tak punya rambut blonde. Bukankah ia yang bisa membuat tekuk lutut Kennedy bersaudara, menyanyikan Happy Birthday Mr. President dengan nada sexy? bagaimana perempuan dan power bertempur dan menggeliat menjadi sejarah tak terpisahkan negeri ini.

Saya menelusuri jalan trotoar hitam dengan bintang-bintang terpatri bertuliskan nama. Hanya sedikit yang saya kenali dari deretan tadi, sangat jelas menunjukkan ketidakpedulian saya dengan Hollywood dan atau "fame" aka ketenaran itu sendiri. Sosial imej adalah pertaruhan besar dengan privacy, harta yang sangat saya hargai. Bahwa semua orang belum tentu suka diusik, dan tidak semua orang menginginkan ketenaran.

Kami melewati bintang lagi. Saya menanyakan apakah ia tahu Motley Crue. Ia menggeleng. Saya lebih suka Eagles akunya atau Queen atau Bruce Springteen. Aahh...tapi ia punya Nevermind-nya Nirvana. Aneh. Ia membilang album itu seperti jeritan hati, jiwa yang mati. Bukankah ketenaran itu terkadang meninggalkan jiwa yang sepi?

Saya bertemu the King Presley yang ngamen di toko hotdog. Jauh lebih pendek dari aslinya. Ia pula adalah contoh kisah Hollywood yang menyedihkan. Wig jambulnya juga terlihat kedodoran. Saya menghormati semangatnya yang tetap hidup. Kesepian pula-lah yang mengantarkan Presley dan Monroe atau Cobain ke gerbang kematian.



Di sudut Wilcox Ave saya bertemu Monroe lagi. Ia duduk manis di kursi disamping Charlie Chaplin. Lebih tidak masuk akal setelah keduanya terpisah negara, generasi dan genre. Chaplin juga bukti kesepian jiwa ketika membuat orang lain tertawa. Ia berkarakter sedih dan selalu menjadi korban, seorang pecundang yang kita tertawai hingga terkencing-kencing. Seperti Donald Duck -Disney. Loser yang kita rindukan.

Saya tak tahan. Bahwa saya memang Hollywood paradoks. Fame dan american dreams bukan untuk jiwa seperti saya. Walau begitu banyak pelajaran berharga begitu saya memutar kemudi kembali pulang.

Hollywood memang untuk Marilyn Monroe, Presley, Crue dan Chaplin.


Hollywood -Walk of Fame -Hollywood Boulevard
You Are The Star -mural painting by Tom Suriya

Comments