Mt Lawu versi Tektok : Puncak Bukan Segalanya (part 3 end)

“It’s not the mountain we conquer, but ourselves”
Edmund Hilary



Saya tiba-tiba ingat adik bayi di Cemoro Sewu. Dengan medan begini pasti orangtuanya berjuang keras membawa dia ke puncak. Jalur ini memang agak tajam. Kata bapaknya, ia hanya membawa ransel dan bergantian dengan ibuk menggendong bayi. Jangan dibayangkan dengan baby-carrier canggih itu. Mereka hanya membawa kain gedong.

Kaki saya ayunkan pelan. Sejak melewati pos II tadi saya sudah memakai ilmu alon-alon waton kelakon. Lima belas tapak kaki, lantas berhenti. Ambil nafas dua tiga kali dan terus. Saya memang slow-starter.

Suhu masih menyenangkan. Saya copot semua jaket dan fleece. Konsekuensinya saya harus terus bergerak. Keep moving, sebuah kata memberi perintah di kepala. Saya mulai melihat edelweiss pagi itu. Baunya yang harum sangat saya kenal.

Saya senyum lagi. Belasan tahun lalu saya memetik edelweiss, sembunyikan di ransel. Hanya untuk trophy bahwa saya mencapai puncak Lawu. Hal yang saya sesali sekarang. Tangan saya ini sama jahatnya dengan illegal logger.

Saya melihat jalanan disemen beberapa tempat dengan besi pegangan. Ngga habis pikir, karena sebenarnya juga ngga terjal2 amat. Puncak sudah tidak terlihat. Saya sekarang menaiki punggung menuju gigir di pos IV. Saya ingat2 sedikit. Dulu karena kepagian kami tidur di jalanan.

Kabut merayap turun, tetes hujan mulai terasa. Saya lihat gps. Ah mendekati 2800mdpl. Tinggal 230an m tinggi dengan 1 km jalan. Kalau diitung hanya sekitar 30 derajat naiknya. Cemoro Sewu, awal saya ndaki tadi pada ketinggian 1922mdpl. Jadi sebenarnya naik Lawu hanya sekitar 1000an meter saja. Saya hanya mengandalkan ingatan masa lalu. Walau track terlihat jelas tetap beda rasanya. Beda antara malam dan pagi.

Sedari tadi saya tidak bertemu banyak orang. Hanya satu orang yang turun. Ia nampak capai dan hanya bersandal jepit, beransel seadanya. Kami bertukar sapa. Biasalah….pasti nanya dengan siapa saya naik. “Sendiri Mas”. Ia menatap saya. Bukan heran tapi seperti ‘pity’. Ia mungkin berpikir, kasian sekali mbak ini. Impresi yang saya dapat persis ketika di Cemoro Sewu.

Begitu mendekati pos IV saya mengambil keputusan untuk turun. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Saya menciptakan rules bahwa sampai tidak sampai puncak saya turun. Ada proses tawar menawar. Ah nambah dikit lagi kan sampai. Ayolah bentar lagi kan tinggal lurus saja. Saya tahu setelah pos V hampir tidak ada tanjakan berarti. Hanya padang reumputan terhampar. Mirip lapangan bola.

Saya putuskan menambah setengah jam. Kali ini saya mulai merasakan penat. Saya nambah lagi. Ngga terhitung berapa liter yang habis. Camel bag saya hanya nyukup 2 liter. Sedang dua botol 1literan saya khususkan untuk turun. Lainnya entah.

Setengah jam berlalu kaki terasa berat. Saya diam. Saya menengok gps. Hmm…cukuplah untuk hari ini. Tanpa pikir dua kali saya balik kanan. Saya merasakan energi lain. Dengan bergumam, “Mbah kulo wangsul. Maturnuwun pun direncangi.”. Hanya suara angin dan desah gesekan dahan yang menjawab. Bulat hati saya memilih turun.

***

Menjelang pos I saya mendengar suara menggema. “Mas Jo” Suara laki-laki, lantang di kesunyian. Berkali-kali. Tak lama seorang baya nongol di sudut jalan. Ia nampak setengah capai, berhenti, berteriak lagi. Di tangannya tergemgam rerumputan.

“Pak madosi sinten?” sapa saya. “Lah niki rencang kulo mbak” jawabnya menegaskan dugaan saya. “Njenengan wau papasan tiyang mboten?” tanya dia. Saya bilang tidak. Saya minta menjelaskan seperti apa orangnya. Bukan laki2 yang saya tahu turun tadi.

Kami ngobrol sambil turun. Ia ternyata sedang mencari tanaman obat. Dia bilang kawannya itu menghilang karena tidak mau lokasinya diketahui orang lain. Dari jauh terdengar teriakan orang. Mereka ternyata satu tim dengan tiga empat orang menunggu di pos I. Tiga perempuan yang tengah mengaduk tanah. Saya jadi ingat betapa orang tergila-gila pada Jenemanii Anthurium. Tapi mereka beda. Hanya mencari semak untuk obat ginjal katanya.

Kami jadi bertutur soal tanaman hias. Saya kaget ketika diberi tahu harga Camelia warna pink bisa mencapai jutaan. Nyesel deh saya cabut untuk dibuat kolam ikan he he he.. Saya sembari istirahat, makan sebatang coklat lagi. Tak lama saya putuskan meninggalkan mereka.

Begitu di Cemoro Sewu saya nyamper Pos Jaga. Lapor saya selamat. Adik bayi masih bermain ceria dengan bapaknya. Sang ibuk masih terlihat kaku kakinya. Saya tawarkan obat flu. Ia menolak. Sebenarnya bukan obat flu tapi Vit – I alias Ibuprofen untuk sekedar mengurangi sakitnya. Saya pamit. Saya tinggali minum dan permen.

Saya duduk di trotoar jalan, siap nyari tumpangan. Mas Jaga rupanya ngga tega, sehingga ia menemani saya. Waktu menunjukkan pukul 12an, gelap karena kabut. Beberapa motor lewat. Satu kijang menuju Tawangmangu –arah yang berlawanan.

Tak lama sebuah pick-up coklat datang. Saya kejar. Minta ijin nunut sampai Sarangan. Tadinya saya sudah menyiapkan diri lompat ke bak belakang. Saya lihat ada tiga kambing muda sedang mengunyah rumput. Bau srinthil menyengat. Lah gak papa, nanti kan dicuci. Pikir saya tentang baju dan tas yang kotor dan bau. Saya dipaksa duduk didepan. Ada pasangan paruh baya dan sopirnya. Jadi kami berdesakan. Pantat saya sisihkan setengah.

Kami bertegur sapa. Mereka adalah pedagang kambing yang pulang setelah dari pasar di Solo. Bak pic-up pagi tadi terisi penuh kambing dan sekarang tinggal beberapa ekor. Wah hebat juga. Saya tanya apakah sudah pernah ke Pasar Legi di Kotagede-kampung saya. “Wah lha niku daerah jajahan kula mbak”, serunya sumringah.

Kami ngobrol ngalor ngidul. Dari masalah politik, membandingkan orde baru dengan orde sby. Tentang susahnya cari pekerjaan. Sang bapak menuding supir. “Ini anak saya yang kecil sendiri; saya latih nyetir. Biar ada keahlian mbak. Tinimbang nganggur di rumah”.

Saya baru sadar bahwa sopir pick-up ini begitu muda. Mungkin sekitar belasan. Ia melaksanakan tugas dengan diam dan sesekali menimpali senyum. Beberapa kali bapaknya memberi pengarahan. Di tikungan tajam dan turun, atau sesekali papasan kendaraan lain.

Weh ngeri juga, batin saya. Mulai was-was. Tapi melihat kemampuannya saya katakana ia sangat berbakat. Hanya biasa-lah anak muda, tergoda ngebut dikit2. Tak terasa saya sampai Sarangan, tapi ternyata si ibu bilang akan menurunkan saya di Pasar Plaosan. Ngobrol jadi berpanjang-panjang. Lantas saya disusulkan angkot. Saya turun, mengucap terimakasih atas tumpangan. Mereka ngga mau dibayar. Saya lihat cahaya iklhas di mata mereka.

Saya mencari angkot lagi menuju Kauman.

(selesai)


Catatan akhir:
Puncak memang bukan segalanya. Saya bukan pendaki jagoan dan saya tidak merasa bangga ‘menaklukan’ gunung. Saya bisa bertemu manusia-manusia yang memberi hikmah di kehidupan ini. Saya jadi dekat dengan angin, bumi dan pohon. Buat saya itu karunia yang tak terhingga sampai detik ini.

In memorium comedian Basuki who died yesterday. Betapa hidup begitu singkat dan berharga.

Comments