Ngga Mau Miskin, Menolak Kaya



Dulu waktu kuliah, saya malu sekali kalau ada yang nanya dimana beli baju. Dibilang jujur beli diskonan kok ndeso, dibilang beli mahal nanti dicap sombong. Aslinya memang saya pemburu barang murah.

Kebiasaan ini makin menjadi ketika mulai merantau di Inggris. Hobi saya dulu tiap minggu nyambangi car boot sale. Di pasar orang2 imigran India dan Pakistan yang ternyata berbisnis baju bekas, dicuci dan dijual lagi. Beli baju, apalagi baju hangat yang jika lewat musim jatuhnya jadi super duper murah. Tahun baru dan Christmas juga Boxing Day saya diajarin memburu diskonan. Antri di Next atau Clark. Nengok Mark&Spencer itu hanya sambil lalu saja, langsung ke pojokan khusus korting.

Termasuk attitute saya soal travelling. Nyari bis, nyari penginepan, nyari tiket budget sampe rela diusir dari perpus kampus karena nyari info di internet semalaman. Hingga tak sengaja saya jadi backpacker, jelajah Eropa dengan dana terbatas. Kalau orang jawa bilang “medhit" atau kikir. Tapi saya tolak tegas, lebih suka disebut satiti ngati-ati.

Toh penampilan kere saya ini dianggap lumrah di Inggris. Mungkin karena masyarakatnya tidak terlalu peduli dengan penampilan luar. Dan mungkin juga karena saya betul-betul kere. Mungkin iya kalau anda jalan di London, menyusuri Knightbridge, Oxford St, Bond St yang penuh desainer kondang. Tapi hey…sapa sih yang peduli. Di Singapura saya hidup juga begitu2 saja. Saya lewat Takashimaya tapi begitu didepan konter saya tertegun. Dengan satu buah tas YSL saya bisa beli external hard disk. Satu buah baju Marc Jacobs bisa beli tiket ke Kamboja, jalan kesana dan kembali dengan segudang pengalaman sangat berharga.

Tiga tahun lalu saya diminta membantu milis Indobackpacker. Milis-nya wong kere begitulah yang dibilang orang. Isinya seperti bisa ditebak adalah milis penjelajah bermodal dengkul. Dalam tiga tahun terakhir ini, model backpacking -jalan dengan murah jadi seperti trend. Saya senang, karena toh akhirnya orang bisa jujur. Bahwa kita pada hakekatnya mencari hal yang murah. Hanya gengsi, ego, aku, dignity, dan aktualisasi membuat orang ingin menunjukkan bisa membeli barang mahal. Ini loh hasil jerih payah gw, ini loh kerja level gw.


Saya akui saya bukan kere dalam artian yang sesungguhnya. Waktu itu saya hanya sedikit emosional. Saya ingin buktikan bahwa siapa saja bisa travelling, tidak harus yang orang kaya. Saya malah bangga dibilang kere. Karena itu kalau anda nengok profil saya di Blogspot saya selalu bilang : I am proud of being kere tourist.

Di Taipei ini saya sering bertemu mbak pekerja. Mereka bisa langsung curhat tentang kondisi mereka karena tahu saya memang wong ndeso. Karena mungkin merasa senasib. Lha iyah mbak wong kita ini sama-sama di rantau nyari duit aja kok nggaya. Itu kata Wati yang sebal dengan seorang mahasiswa Indonesia di Taipei yang terlihat sombong dan ehm …kaya.

Memang terlihat kaya membuat kecemburuan social, social jealousy. Orang Jawa selalu melihat kekayaan sebagai hal yang wajar. Ora pantes atau tidak pantas untuk memperlihatkan didepan umum. Wong kok ra duwe tepa selira. Maksudnya jelas, kita harus tenggang rasa dengan orang yang tidak beruntung. Lihat siapa yang ada di depan kita. Mosok ngomongin kamera DSLR dengan mbok bakul pecel.

Salah satu keuntungan terlihat kere ketika jalan adalah saya jadi gampang akrab dengan orang. Tukang taksi gelap, penjaga toko, penjual bensin, kernet angkot bahkan jagawana. Mereka ini sumber inspirasi hidup yang luar biasa. Banyak petuah dan hikmah yang saya dapatkan dari mereka. Efek lainnnya seperti karambol. Saya kadang diantar dengan gratis, diberi penginapan dan tentu memberi harga yang pantas. Ngga murah tapi juga ngga kebangeten.

Terkadang hal sederhana bisa membuat saya tercenung. Tiba-tiba saya merasa sangat beruntung. Saya masih bisa makan teratur, punya tempat menginap, punya orang yang saya cinta. Orang-orang di level ini biasanya sangat jujur jika melihat kita atau saya selevel dengan mereka.

Wah mbak gaji saya ini cukup untuk sekolah anak mbarep saya di Cilacap. Begitu kata salah satu tenaga wanita di Malaysia yang saya temani di Cengkareng. Atau cerita tukang taksi Jogja yang kebingungan ketika gempa besar. Oalah Mbak, banyak orang melambai mau bayar taksi saya ratusan ribu untuk ngungsi tapi saya tolak. Saya ini mikir keluarga saya. Gimana nasibnya.

Soal enggak enaknya terlihat kere kadang membuat saya kesal. Pernah masuk di sebuah restoran di Irlandia ketika betul2 dicuekin. Selalu dianggap pembantu ketika naksi di Singapura. Dikira Tekawe ketika di bandara Cengkareng sehingga selalu digiring ke jalur khusus. Ditolak di sebuah rumah photo ternama di Jogja ketika nanya soal tarip. Dilihat dengan sebelah mata, dilecehkan begitu saja.

Saya selalu ambil hikmah dari peristiwa diatas. Ngga mau menyalahkan orang yang masih berpikir bahwa penampilan luar itu maha penting. Saya malah terkadang ingin membalik argumen. Jangan pandang orang dari sisi luar. Kaya dan miskin itu relatif. Bergantung hanya pada jumlah nominal. Punya rumah, punya mobil, punya deposito. Pake baju desainer, pake parfum terbaik dan travelling keluar negeri. Itu yang nampak, gebyar ing mata. Jadi punya 2M dibilang kaya? Belum tentu. Jika ia punya asset segitu tapi jumlah loan (pinjaman) mortgage atau angsuran rumah melebihi itu, utang kartu kredit, maka semua orang bisa saja miskin. Semu, maya seperti asap. Bisa diraba, bisa dirasa tapi tak bisa bertahan lama.

Pernahkah kita menghitung kaya dan miskin dari sisi berbeda selain harta?






Comments