Sirombu : diantara bau durian dan amonia



Perjalanan ini adalah sebuah renungan yang dalam tentang Indonesia. Pulau Nias poranda oleh dua musibah yang menghantarkan rakyatnya ke titik nadir kesadaran. Yang saya lihat disana adalah kepasrahan dan semangat untuk bangkit. Dari Gunung Sitoli kami menuju Sirombu sekitar 90km atau 4 jam bumpy angkot. Kawasan pesisirnya adalah yang paling berat terkena tsunami. Jika malam ibarat sebuah kota mati. Sunyi... hanya suara debur ombak dan rintihan pohon kelapa.

Gunung Sitoli - Sirombu (1st Aug 2005)

Pukul 4 sore, ambulance yang kami tumpangi terguncang-guncang di jalanan terjal. Sepuluh orang didalamnya mulai merasakan efeknya. Rupanya ada yang belum terbiasa dengan kondisi ini. Kami memilih berhenti. Di kanan kiri adalah hamparan kebun coklat yang menghijau. Beberapa buahnya nampak berwarna merah hati. Bisa dikata pohon ini adalah wajib dimiliki oleh setiap penduduk. Sedang hasil kebun lainnya adalah kopi, ubi jalar dan durian. Yah ini juga alasan kami berhenti. Untuk menikmati durian Nias.

Bentuknya kecil dan liat. Tapi harumnya hmmmm. Yang saya sadari kemudian bahwa orang Nias memperlakukan durian sebagai makanan harian bahkan dicampur dengan kuah ikan !!! Hampir setiap rumah yang kami lewati menawarkan segepok durian. Ide untuk membawa hingga Sirombu ditolak mentah-mentah. Ini karena ternyata beberapa mengalami mabuk bau durian. Pusing katanya.

Tapi aku menghembus bau lain. Iseng aku menyelinap ke kebun belakang penjual durian. Sebentuk benda kenyal berwarna kehitaman menjijikkan. Iya bau amonia itu. Sepintas kukira tai kerbau atau apapun namanya. Urung aku menyentuh tapi ini membuat sangat-sangat penasaran.

Perjalanan kami teruskan hingga jembatan Dola. Sebagian besar papan jembatan ini lenyap, meninggalkan lobang menganga. Ambulance kami musti antri melewati sederetan kendaraan yang akan menyeberang. Tak jauh dari situ sebuah warung dengan ah....ya barang berbau tai itu. Kali ini aku mendapat jawabannya. Itu adalah getah karet mentah yang dipadatkan dengan liquid amonia. Mereka menaruhnya di tepi jalan untuk dibeli dan diangkut oleh pengepul. Kondisi terbaik untuk menjualnya adalah dalam keadaan basah sehingga bisa memperoleh kilo lebih banyak. Tiap hari berseliweran truk berisi karet mentah ini. Jadi siap2 memencet hidung !

Hujan mulai membasahi jalanan. Terkadang angin kencang. Hari mulai temaram, beberapa kali kami nyaris tersesat karena gelapnya medan. Bukit-bukit yang kami lewati sudah mulai menghilang. Sekitar isya' sampailah kami di posko. Sebuah gedung madrasah ibtidaiyah difungsikan menjadi tempat klinik dan kegiatan kami.

Lokasi posko sekitar 2,4 km dari tepian pantai. Dulu kawasan itu adalah pusat kegiatan penduduk sebelum tsunami. Mereka menyebutnya Pasar Sirombu. Saat ini hanyalah puing-puing. Gempa yang menyusul kemudian membuat hampir 80% bangunan lenyap. Hanya satu orang penduduk bersikeras tinggal. Lainnya mengungsi ke beberapa kantor pemerintah dan tanah kosong.

Saya bersepeda suatu sore menuju pantai. Indah sekali, bahkan sunsetnya sangat menawan. Desahan ombaknya membuat saya tercenung.

Comments

Anonymous said…
Ck.. kapaaan yo aku iso mrono???
Ellen Widyasari said…
crita lagi yang panjaaaaaaaaaang dong..foto2 juga