Notes From an Even Smaller Island

Title : Notes From an Even Smaller Island
Author : Neil Humpreys
Publisher : Times Edition 2004
232 pages, S$13.55

Siapa sih Neil Humpreys ? Kalau anda ngga mengenal Neil itu wajar. Neil ini seorang anak muda dari Inggris yang tinggal dan bekerja di Singapura sekitar 6 tahunan. Bekerja sebagai guru drama dan pidato bahasa Inggris dan akhirnya sebagai journalist di The Strait Times-koran berbahasa Inggris di Singapura. Pengalaman selama ia tinggal itulah yang kemudian ditulisnya di buku ini. Sebuah potret masyarakat Timur dalam pandangan British yang tentu diwarnai shock culture yang menggelikan.

Sedikit banyak Neil lebih mengamati manusia dibanding politik itu sendiri. Tentang auntie and uncles yang bekerja di food stall diHawker Centre misalnya. Ketika Neil bertanya kenapa kita meninggalkan nampan bekas makanan di meja, kebanyakan jawaban yang diberikan adalah: biarkan saja itu adalah pekerjaan mereka. Tapi bagi Neil yang dibesarkan di Dagenham sebuah kota kecil di UK dimana struktur sosialy yang menempatkan kaum tua untuk tidak bekerja setelah berumur 65, membuat Neil merasa tersentuh. Kenapa tidak membawa nampan dan diserahkan kepada auntie yang menjaga meja misalnya. Toh itu ngga makan tenaga.

Interaksi sosial juga makin kental ketika Neil tinggal di HDB (rumahsusun) yang mengharuskannya bergaul dengan tetangga. Karakter2 unik seperti Vidal Sasson wanita yang hobinya menjelajah HDB dengan lift atau Saudita -wanita overweight yang kebiasaan topless dan minim bahasa Inggris. Bahasa yang menjadi kendala bagi Neil adalah pemakaian bahasa Hokkien mixed dengan bahasa Inggris yang populer dengan Singlish- Singaporean English. Ini cukup membingungkannya terutama ketika ia harus mengajarkan anak-anak bahasa Inggris yang baik dan benar. Kata seperti kiasu, kaypoh atau gong-gong sering dipakai anak-anak dalam percakapan sehari-hari dan sulit sekali menjelaskan bahwa itu bukan bahasa Inggris (hal 168)

Ia bercerita bagaimana harus memisahkan anak didiknya saat memukul pengasuh karena lupa membawakan mainannya juga cerita sesama guru tentang essai seorang anak betapa bodohnya pengasuh di keluarga karena tidak mematuhi perintahnya (hal 89). Semakin menarik juga ketika seorang ibu meminta dengan setengah memaksa putrinya untuk masukspeech courses walaupun umurnya masih kecil.

"The girl was four years old. She was nearing the end of kindergartenone (K1) and her mother was demanding that she put in a class withteenagers and entered for oral examination. Words cannot aptly describe such imbecilic behaviour. The sad fact is that we had parents like that walk into our office almost every week. The neurotic mother eventually relented and the girl ended up in one of my classes". (page79)

Buku ini menarik untuk disimak sebagai sebuah pembelajaran society serta perbandingannya dengan budaya british. Juga mengingatkan akan pentingnya memahami adat istiadat dan budaya bangsa lain. Dalam hal ini cukup menjelaskan keberhasilan Singapura menjadi negara yangmemimpin kedepan.

Neil dalam bukunya ini "brutally honest", to the point dan melihatdengan sangat hati2 walaupun beberapa isyu sedikit sarcasm dalam kacamata budaya Timur. Sebuah buku yang memotret masyarakat dengan apa adanya, dan sungguh (dijamin !) bisa mengundang gelak tawa. Bagi saya ini juga sedikit menjelaskan masyarakat Indonesia. Paling tidak ada kemiripan disana-sini.

ambar

Comments