Mountaineering Books : Left for Death and Touching The Void

Taken from ResensiBuku mailing list

Dear All,

Saya berkenalan dengan dunia mountaineering belum lama walau sejak SMA hobby naik gunung dalam skala regional. Sekitar setahun lalu sejak menetap di Inggris seorang sahabat memberikan buku "Touching The Void" karya Joe Simpson yang menurutnya buku classic bagi pecinta alam. Sangat dramatis dan begitu mengesankan hingga saya tak berhenti baca sampai cerita berakhir.

Cerita ini juga telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama dan meraih berbagai penghargaan sebagai film documentary terbaik. Sepintas lalu buku paperback "Touching the Void" tampak lecek dan begitu tipis. Riwayat hidup Joe si pengarang-pun hanya sepintas (maklum ditulis ketika dia belum ternama), tapi cukup membanggakan dengan degree di bidang sastra Inggris dari Edinburgh University.

Kisah ini berawal dari Joe dan partner climbingnya Simon Yates yang sama-sama dari Inggris, muda, ambisius dan focus pada satu tujuan : menaklukan West Face Siula Grande 21,000ft di Peruvian Andes. Awalnya semua nampak lancar. Logistik dari penduduk lokal, cuaca yang cukup membantu membuat pendakian awal mereka sangat cepat. Dalam kurun dua hari dengan bermalam di snow cave (membuat lubang ice untuk tidur) mereka berhasil mencapai puncak di hari kedua. Kemudian datang badai salju sesaat ketika mereka beranjak menuruni puncak melalui sisi north. Kaburnya pandangan dan dinginnya temperature membuat mereka sempak kehilangan orientasi sebelum akhirnya mulai menemukan jalur yang mereka kira cukup aman. Celakanya ketika menggunakan tali Joe terantuk tebing dan mengakibatkan patah kaki kanannya ketika ketinggian masih sekitar 2000ft .

Dengan gagah berani Simon menurunkan Joe dengan tali sedikit demi sedikit hingga sekitar 300ft. Kemudian malapetaka datang. Ketika menurunkan Joe, Simon tidak bisa berkomunikasi karena buruknya cuaca. Satu2 nya cara adalah dengan kode tarikan di tali. Satu berarti aman terus turun. Dua berarti tunggu. Secara tak diduga Joe tergantung bebas hingga ketinggian 200ft dengan tidak ada jangkauan tangan ke dinding es. Terbayang betapa luar biasanya Simon menahan berat badan Joe sampai sekitar 1 jam dalam kegelapan dan ektrem temperatur. Hingga akhirnya Simon mengambil langkah drastis dengan memotong tali belay. Simon berasumsi bahwa Joe sudah meninggal karena tidak ada reaksi ketika mencoba berkomunikasi juga dia mulai kepayahan menahan berat Joe yang hampir dua kali lipat dengan peralatan climbingnya. Frostbite (beku) mulai dirasakan Simon di jari dan mukanya menuntut ia memikirkan keselamatannya sendiri. Tubuh Joe melayang bebas dan terjatuh di sebuah lubang es (cravaces) yang dalam.

Ketika bangun ia harus berusaha untuk hidup dengan keluar dari cravaces dengan merayap hingga base camp dalam kondisi dehydrasi (tidak ada tanaman dan air dalam ketinggian tsb).Saya sangat terkesima dengan bagaimana Joe bertahan hidup dan tentu memaafkan Simon atas keputusannya memotong tali belay. Yang menakjubkan justru Joe yang terus menekuni mountaineering setelah sekitar tujuh operasi sedang Simon sendiri sangat trauma dengan kejadian itu.

Buku ini indah dalam bahasa, mungkin karena kekayaan kosa kata bagi Joe walau ia meminimise istilah-istilah mountaineering yang mungkin sangat asing. Bahkan di belakang ada glossary yang memberikan penjelasan lebih lengkap. Dengan mengambil gaya buku harian cerita ini dirangkum dalam sebuah skala waktu yang hanya sekitar 6 hari. Lugas, tapi juga sangat emosional. Tak heran jika buku ini telah diterjemahkan dalam 14 bahasa dan laku jutaan eksemplar.

"Left for Death" karya Beck Weathers yang saya baca adalah terbitan time Warner 2003 setebal 286 hal. Buku ini juga tentang survival tapi dengan tema yang sangat berbeda. Beck adalah salah satu anggota tim Everest 1996 yang mengalami malapetaka terbesar dalam sejarah ekspedisi Mt Everest. Ia mengalami snow-blind (buta karena silaunya salju), frostbite di hidung dan kedua tangannya hingga harus diamputasi. Ia juga ditemukan dalam kondisi coma diatas dan ditinggalkan tim pencari karena diduga sudah meninggal. Ia pula yang tiba-tiba terbangun dan berjalan hingga ke base camp dalam severe condition.

Toh cerita dia survive di Everest tidak bakal ditemui di buku ini. Beck memilih bagaimana ia survive kembali ke keluarganya setelah peristiwa malapeta itu. Bagaimana ia menjalani series operation hingga transplant hidung dan hidrotreatment. Bagaimana ia mengembalikan fungsinya sebagai ayah di tengah keluarga dan juga mempertahankan perkawinan. Istrinya, Peach memang tidak mendukung kegiatannnya mountaineering sedang anak-anaknya yang beranjak remaja membutuhkan keberadaanya. Kedua buku ini sangat berbeda tapi dengan setting yang hampir mirip.

Semangat bertahan hidup setelah mengalami peristiwa yang luar biasa. Bagi saya ini lebih menarik ketimbang buku motivasi atau management yang lebih ke teori ketimbang yang lebih practical. Bagi saya yang hobby mountaineering memang sebuah cerminan untuk selalu menghargai alam dan kekuatannya. Terkadang keangkuhan manusia diuji di sebuah peristiwa yang membuat kita mengakui ketangguhan sang Pencipta.

Salam baca,
Ambar

Comments