Ketika Nafas Hanya Sepenggal : Menyusuri Jejak Sejarah Menuju Kaki Sagarmatha (Bag 2)



View Lobuche

Gambar: Dokumentasi Pribadi


Gunung perkasa ini memang selalu meninggalkan kontroversi. Hingga sekarangpun menjadi objek perdebatan politik dari  tragedi di tahun 1996, obor Olimpiade China hingga tewasnya pendaki David Sharp tiga tahun silam karena dibiarkan tergeletak. Saya memandang puncaknya yang nampak tertutup awan. Everest sebenarnya terdiam, tidak bersalah. Ia hanya tempat yang ditakdirkan menjadi kuburan ratusan orang yang mencoba menuju puncaknya. 

Angin berdesir kencang  membuat tubuh lebih dingin.  Sambil menghirup air dari selang minum di tas ransel bawaan, saya perhatikan lekukan agung Gunung Ama Dablam di sebelah kanan. Disampingnya adalah Kantenga (6895m) dan Thamserku (6508m). Sedangkan di belakang saya berdiri gagah tebing tinggi Taboche Peak (6367m)  memanjang hingga Mehra Peak (Kongma Tse 5820m), Lhotse (8414m) yang berbagi punggung dengan Everest.  Saya tidak hiraukan Ram dan kawan saya yang tepekur di puncak bukit. Pemandangan didepan mata saya ini sangatlah spektakuler. Membuat saya enggan beranjak.

Sosok kedua kawan seperjalanan saya yang tengah duduk menandakan saatnya beristirahat. Saya gunakan hari aklimatisasi ini sebagai sebuah ruang meditasi untuk merenung hakikat apa yang membawa seorang mountaineer menyabung nyawa di tempat asing ini. Sebuah momen untuk menikmati keindahan dan mematikan di saat yang sama.

**

Tersengal saya sampai di gigir bukit. Saya meniru Ram, yakni menutupi muka dan mulut dengan slayer. Disamping mengurangi kelembaban yang terbuang, juga menghindari kering tenggorokan. Cahaya matahari siang itu terasa begitu kejam. Rasanya suncream yang saya taburkan di muka tidak ada gunanya. Alur kacamata terlihat jelas, ditindas ultraviolet yang garang. 

Tongkat jalan saya memapah hingga ke puncak bukit. Hempasan angin di lereng ini makin terasa. Kelepak jaket saya makin keras, deru di telinga membuat miris.  Ram dan Nanung memutuskan untuk menuruni punggungan, kembali menuju penginapan. Saya masih enggan beranjak. Gunung Ama Dablam disebelah kanan saya ini merengkuh hangat. Bentuknya yang membulat dengan ceruk tajam sepertinya berbahaya dari dekat. Dua hari lalu ketika saya melihat untuk pertama kalinya, ia nampak cantik. Punggung putihnya dengan batuan hitam terlihat mencengkeram. Berbeda dengan Everest yang hampir terlihat putih bersih. 

Dari puncak bukit saya bisa melihat Island Peak, gunung yang banyak didaki untuk latihan calon penakluk Everest. Lebih pendek, dengan akses yang mudah dari Lobuche membuat terasa dekat. Ram tadi sempat membilang, “If you want to climb those one, I will take you.” Ujarnya sembari menunjuk Island Peak yang tertutup kabut tipis.  “I’m sure you can make it.”Saya menghela nafas. Sepertinya ungkapan tadi menunjukkan optimisme dan pengharapan. Saya menimpali, “Next time Ram. Next time when I am fitter than today.” Penghiburan diri yang berhasil. 

Ram tersenyum. Rupanya ia memaklumi ini adalah perjalanan saya yang pertama di Himalaya. Terlalu rakus membuat seseorang kehilangan fokus dan perhatian. Saat ini saya hanya ingin menikmati aura yang membawa para petualang terbius tempat luar biasa ini. Sejarah membuktikan, sangat jarang pendaki yang baru pertama mencoba dan  berhasil. Kombinasi factor cuaca, kemampuan tubuh, logistik dan nasib baik menjadi penentu utama. 

**

Kami menuruni bukit dengan cepat. Tidak sampai satu jam sampailah kembali di ujung desa Periche. Beberapa kali saya temui penggembala yaks –hewan seperti kerbau dengan bulu yang tebal menggiring gerombolan binatang ini menuju lapangan rumput. Yaks adalah hewan tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Himalaya.

Chai atau teh hitam khas Nepal kerap kali disuguhkan dengan susu kental dari yaks. Seperti mentega tapi sangat kaya protein dan lemak. Daun teh juga dihasilkan di tempat tinggi di Nepal, sekitar Ilam dan Taplejung tak jauh dari perbatasan dengan Darjeeling India. Teh dinikmati setiap saat di warng-warung yang tersedia di sepanjang jalan pedesaan. Teahouses (warung teh) ini kemudian menjadi losmen yang menyediakan penginapan seadanya. Ketika menjelajah Himalaya, losmen-losmen inilah yang menjadi tulang punggung trekker berikut chai yang dihidangkan. 

Hewan yaks juga menghasilkan bahan bakar. Kotoran hewan ini diolah dengan ditambahi jerami kering kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari.  Tempat yang ektrem tinggi dengan transportasi terbatas membuat konsumsi energi sangat berharga. Tea house yang saya tumpangi menggunakan panel sinar matahari untuk menghasilkan listrik. Tetapi untuk memasak dan kebutuhan penghangat ruang, kotoran yaks ini menjadi satu-satunya alternatif murah. Daging yaks juga disuguhkan untuk trekker. Hanya saja beberapa suku di Himalaya adalah vegetarian, yakni tidak memakan daging. Umumnya mereka mengkonsumsi jika permintaan ada. Bagi mereka, yaks lebih berharga jika hidup. Sebagai alat transportasi pembawa barang dari desa ke desa melalui medan yang sulit. 


(bersambung)


Comments