Clara Sumarwati : Pengakuan dunia dan kontroversi di tanah air




Berbagai komentar sampai ke saya tentang tulisan sebelumnya: Clara, Everest, Prabowo dan kisah Beautiful Mind. Tulisan itu saya publish pertama di milis Highcamp (Senin 12 Oct 09 on 9:06am WIB) dan ceritaambar.com. Sehari kemudian, yakni Selasa 13 Oct 09 on 09:45 WIB, saya repost di blog multiply yang relay summary ke facebook.

Kisah yang saya paparkan adalah sebuah analisa dari sekian tahun dan upaya penggalian data yang tentu sangat terbatas karena saya mengandalkan pada sumber sekunder. Tulisan Gatra misalnya, tidak bisa saya dapatkan ‘asli’ melainkan dari kutipan-kutipan dan reposting yang ditempelkan di blog2 pribadi. Karena itu kemungkinan terjadi manipulasi sangat besar. Tetapi sebagai langkah awal cukup banyak membantu karena berkat mereka pula saya bisa mencari tahu lebih dalam.

Sikap saya dalam kasus Clara adalah mencoba menelusuri catatan prestasinya dari luar negeri. Ini disebabkan susah sekali mendapatkan data yang lengkap tentang ekspedisi2 yang dilakukan Indonesia. Entah karena tidak ada dokumentasi lengkap, ataupun jurnalis yang mengkhususkan soal ini[1]. Terlepas dari teori konspirasi yang saya paparkan di tulisan sebelumnya, sebenarnya bukan itu yang menjadi titik tolak pencarian.

Ketertarikan awal tentang Clara berangkat dari kontroversi pendakiannya, terutama masalah photo [2]. Pengakuannya diragukan kalangan pendaki dalam negeri terutama masalah bukti foto dan sertifikat dari CMA China Mountaineering Association (CMA) dan China Tibet Mountaineering Association (CTMA). Foto yang nampak di Gatra adalah tentu saja muka seorang pendaki dengan masker oksigen dalam balutan down suit[3]. Tidak ada yang bisa menebak apakah dia laki-laki atau perempuan, apakah dia Clara atau Sherpa, apakah itu di puncak Everest atau di bawahnya. Sertifikat yang dibilang Clara, dituduh sebagai hasil membeli dari Asosiasi Mountaineering China.

Dalam beberapa photo di Gatra, ada dua photo di puncak. Yakni ketika ia (asumsinya Clara) mengacungkan ice axe-kapak es dengan tangan kanannya ke udara sedangkan satu photo lagi adalah ketika ia memegang bendera merah putih diterpa angin. Photo terakhir ini menarik karena terdapat jejak tanggal di sana. Kamera analog dan film memberikan jejak tanggal pengambilan sama seperti kamera digital dengan data EXIF. Karena kualitas posting internet dan scanning, saya tidak bisa melacak tanggal puncak. Ini terutama letak jejak tulisan analog tadi tertutup oleh kemilau salju dan hasil scan dengan resolusi yang rendah. Saya masih berharap ada yang mempunyai hard copy Gatra tahun 1996 mengirimkan ke saya atau bersedia memberikan hasil scan yang tentu dengan tehnologi lebih baik dibanding 13 tahun yang silam[4].

Rencana saya adalah membandingkan photo2 Clara dengan para pendaki dunia yang mencapai puncak dari Tibet. Perlu diketahui ada banyak jalur menuju Everest. Dalam catatan everesthistory.com ia menggunakan jalur NC-NE (North Col-North East Ridge atau gigir Timur Laut). Sedangkan dari buku Everest: A Mountaineering History (1999) karya Walt Unsworth, Clara tercatat menggunakan rute North Ridge-North Face. Ini juga dinyatakan positif oleh Reinhold Messner –pendaki Italia ternama di bukunya Everest: Expedition to the Ultimate (1999).

Dalam halaman 254 Messner mengutip Clara menggunakan rute North Col/North Face atas nama Indonesian Expedition. Clara dinyatakan berhasil mencapai puncak Everest bersama dengan Sherpa Kaji, Sherpa Gyalzen, Sherpa Ang Gyalzen, Dawa Tsering, dan Sherpa Chuwang Nima dalam nomor urut ekspedisi 255.[5]

Clara mendaki pada bulan September ketika di Tibet/Nepal disebut post monsoon atau berakhirnya musim badai (dari halaman 664 buku Unsworth di bagian Appendix 4). Jadi membandingkan photo dan kondisi puncak adalah mencari hasil bidikan para pendaki yang mencapai puncak pada sekitar bulan itu ataupun pada cuaca yang hampir sama.[6] Yang cukup menarik adalah tim-tim setelah bulan itu tidak mampu mencapai puncak kecuali tim dari Korea Selatan yang berhasil melalui rute Nepal (South East Ridge), rute yang berbeda dengan yang diambil Clara.

Tim yang disebut-sebut Clara berbagi rute dengannya seperti Afrika (yang benar adalah Afrika Selatan dipimpin Alex Harris) dan tim gabungan berbagai negara (US-Chech-Yugoslovakia dan Chech-UK-Slovakian) semuanya tidak berhasil mencapai puncak. Termasuk upaya illegal dari dua orang Belgia yang ketauan di Icefall dan dilarang naik gunung Everest selama 10tahun.


Dalam keterangan di majalah Gatra, Clara menyebut bahwa ia meminta jasa merintis rute North Ridge pada tim-tim ekspedisi lain. Menurut saya ini bisa dimaklumi. Karena Clara dan tim Indonesia pertama kali datang ke rute ini pasca monsoon di bulan September. Yang berarti rute lama tertutup salju dan kemungkinan rusak. Sebenarnya yang dimaksud Clara adalah bukan membuat rute baru, melainkan lebih pada “menemukan kembali” rute yang tertutup salju tebal dan hilang ataupun susah ditemukan.




Sedangkan soal sertifikat dari CMA dan CTMA, saya tidak bisa memberi komentar.[7] Kecuali saya harus mengkonfirmasikannya pada lembaga ini langsung. Kesulitan saya adalah bahasa dan birokrasi. Juga saya perkirakan adalah dokumentasi, apakah kedua lembaga ini menyimpan copy sertifikat atau tidak. Let’s see. Saya masih gerilya mencari konfirmasi sana sini.

Saya menegaskan bahwa sertifikat itu TIDAK menunjukkan apakah Clara sampai di puncak atau tidak. Melainkan semacam ijin ekspedisi dan sebagai surat sakti untuk diperbolehkan mendaki. Ini karena rute yang ditempuh Clara adalah melalui Tibet yang saat ini dikuasai China dengan cara kekerasan di tahun 60an. Pemerintah China menjaga situasi Everest dan perbatasan ini karena banyaknya orang Tibet yang menyeberang lari menuju India –tempat Dalai Lama memimpin dengan melewati pegunungan Himalaya.


Di tahun 1960an, seorang jurnalis wanita asal Amerika Elizabeth Hawley memulai data tentang para pendaki yang melakukan ekspedisi di wilayah Himalaya. Tidak hanya Everest, tetapi mencakup Cho Oyu hingga K2 yang masuk wilayah Pakistan. Karena begitu berharganya klaim seseorang mendaki gunung Eeverest, ia akhirnya menjadi semacam juru konfirmasi, baik dari sisi Nepal ataupun Tibet. Miss Hawley melakukan wawancara langsung dengan pendaki, menanyai mereka dengan pertanyaan pedas dan tajam, serta melakukan kros cek dengan tim lain yang mendaki bersama. Pertanyaannya seperti, cuaca ketika mendaki, disisi mana ia meletakkan kemah, pukul berapa ia mulai naik dsb. Deretan pertanyaan yang mungkin sangat mengganggu bagi pendaki tetapi sangat penting bagi catatan sejarah. Seorang pendaki dinyatakan sah jika Miss Hawley berkata iya. Tingkat akurasi dan hasil investigasi yang menyeluruh ini membuat reputasi Miss Hawley sebagai sejawaran eskpedisi Himalaya paling disegani. Kompilasi data Miss Hawley ini kemudian dibuat dalam program software yang dsebut himalayandatabases.com

Belajar dari kesalahan sejarah, di tahun 1950an tim China berhasil mencapai First Step di rute Tibet, tetapi dibilang bohong oleh para pendaki Barat, khususnya Eropa. Ini merupakan pukulan bagi mereka karena China baru masuk panggung lomba Everest dalam lima tahun. Bagaimana mungkin pemain baru mampu menandingi kemampuan George Mallory dan Andrew Irvine yang menghilang di tahun 1924? Selain arogansi pendaki Barat terhadap kemampuan pendaki Asia, ini juga menunjukkan bahwa klaim pendaki perlu ditelusuri dengan lebih seksama dengan pikiran terbuka.[8]


Saya hanya bisa meminta pada publik untuk tidak menghakimi seseorang sebelum bukti menunjukkan yang sesungguhnya. Bukti primer dan sekunder baik tertulis dan tidak, bisa ditelusuri yang semoga ini yang akan dilakukan oleh Tim Menpora. Kejanggalan yang membuat keraguan, memang bisa dijelaskan. Dan teori konspirasi akan selalu hidup, menjadikan bumbu kisah ekspedisi Clara makin menarik. Bukankah misteri akan membuat kisah makin dikenang?




Catatan kaki:

[1] Saya jadi inget Norman Edwin, pahlawan adventur Indonesia yang juga jurnalis Kompas. Ia banyak menulis di jurnal Wanadri dan memberikan laporan ekspedisi di era hangatnya kegiatan ini tahun 90an. Didiek Samsu –rekannya mendaki Aconcagua juga wartawan Jakarta Jakarta.

[2] Ini karena sebelumnya saya pernah menganalisa photo2 Mayangsari dengan metode digital forensik, yang bisa dibaca disini

[3] Baju yang didesain memberikan kehangatan ekstra pada ekspedisi di tempat ekstrem seperti Alaska, Himalaya, Antartika. Diisi dengan bahan alami yakni bulu angsa tebal yang membuat pendaki terlihat seperti astronout. Salah satu contohnya disini.

[4] Tolong banget jika bersedia, sudilah menscan dari majalah dengan resolusi minimal 300dpi.

[5] Saya sertakan screen shot dari halaman kedua buku tsb, yang menyebut Clara, dengan menggunakan fasilitas ‘look inside’ dari amazon.com –toko buku online. Catatan : screen shot tidak bisa ditampilkan di milis, tetapi muncul di blog ceritaambar.com

[6] Sejarah iklim dan temperature Himalaya banyak sekali tersedia secara literatur, ataupun deskrepsi pendaki dalam rentang waktu yang bersamaan dengan medio pendakian Clara.

[7] Contoh sertifikat yang diberikan CMA bisa dilihat disini.

[8] Klaim tim China ini dikuatkan dengan film dan photo, tetapi ditolak oleh pendaki Eropa. Namun penemuan mayat Mallory di tahun 1996 oleh Ekspedisi Pencarian Mallory & Irvine membuktikan bahwa China memang hampir mencapai puncak Everest di tahun 1950, tiga tahun sebelum Hillary dan Tenzing.

Comments