Clara, Everest, Prabowo dan kisah Beautiful Mind

Empat tahun lalu ketika saya mulai tersedot tentang sejarah Everest, sebuah nama terlintas. Clara Sumarwati.

Clara who?

Itu adalah reaksi saya ditengah upaya mencari berita tentang ‘perlombaan’ tim wanita Asia Tenggara untuk menaklukan Everest. Saat itu 2006, tim putri dari Singapura sedang dalam proses kampanye lewat media massa. Target mereka jelas sekali, yakni menjadi tim putri Asteng pertama yang menancapkan bendera di atap dunia.


Tim Putri Indonesia kemudian muncul sebagai tandingan. Dalam suasana hingar bingar dan kompetisi yang ketat dengan negara tetangga, sungguh ini dalam posisi yang tidak nyaman. Tsunami dan gempa di Aceh memakan ratusan ribu jiwa, terutama di kepemimpinan SBY yang seumuran jagung. Indonesia dalam carut marut.

Kaitan politik, bencana alam dan kegiatan adventur ternyata saling berhubungan. Bukankah keputusan mengirim tim putra Indonesia ke Everest di tahun 1997 adalah juga politik dengan alasan nasionalisme? Bahwa seorang Indonesia harus lebih dulu menjejak puncak dunia sebelum negara tetangga, dengan alasan apapun, dengan taruhan nyawa sekalipun.[1]

Disinilah kisah Clara mulai masuk panggung adventur dan politik. Terlahir 6 Juli 1967 sebagai anak ke 6 dari delapan anak Marcus Mariun dan Ana Suwarti, Clara menghabiskan masa kecil di Jogya hingga kuliah di Universitas Atmajaya jurusan Psikologi Pendidikan. Di tahun 1991 ia bergabung dengan tim pendaki Indonesia untuk menaklukan Annapurna IV yang mengantarkan rekannya Aryati menjadi wanita Asia pertama di puncaknya. Pada Januari 1993, Clara bersama tiga perempuan Indonesia menaklukan Aconcagua, salah satu puncak 7summit di Amerika Latin.[2]

Clara bersama tim PPGAD Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat –diduga sebagai sempalan militer untuk menandingi tim militer Kopassus/Wanadri melakukan ekspedisi low profile di tahun 1996. Menurut Gatra, tim ini hanya mampu mencapai ketinggian 7000m di punggungan South Col (gigir atau sadel gunung antara Everest and Lhotse rute pendakian dari Nepal).

Walau gagal, Clara berusaha menggalang dana untuk melakukan upaya kedua menancapkan merah putih pada 17 Agustus 1995 [3] yakni tepat 50 tahun kemerdekaan Indonesia. Clara kemudian mendapat kepastian bahwa upayanya akan dibantu oleh pemerintah yang diwakili Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia yang saat itu dibawah Sekretariat Negara.

Clara terpaksa mengundurkan ekspedisinya bulan Juli 1996 setelah memperoleh kepastian dana (yang saya sinyalir adalah upaya orang tententu untuk ‘mengganggu’ Prabowo mengirim anak buahnya menjadi orang pertama di puncak dunia ie membuat ia menjadi pahlawan).

Perlu dicatat, Gatra sendiri menurunkan berita tanpa mengaitkan dengan kondisi politik karena begitu sensitivenya situasi era menjelang berakhirnya Orde Baru. (kerusuhan Mei, desas-desus kup oleh Prabowo dan militer, mundurnya Suharto hingga chaos-nya situasi politik di tanah air). Tetapi sinyalemen itu diungkapkan Clara dengan jelas terutama kisah tentang adanya upaya dari pihak Prabowo dan militer untuk membuatnya membatalkan ekspedisi. [4]

Upaya untuk menghentikan Clara dimulai dari ringan hingga berat. Terakhir saya kontak, ia tidak mau menyebutkan secara detail. Tetapi bagi yang akrab dengan suasana represif di akhir 90an tentu bisa memahami. Saya sendiri ketika mendengar versinya hanya bisa bilang WOW!

Butuh setengah jam untuk mencerna. Saya mencoba untuk tidak menuduhnya pembohong ataupun tukang ngarang. Sungguh ceritanya adalah kombinasi antara kulminasi terror dan paranoia, imanjinasi dan suspense. Saya berusaha meyakinkannya bahwa ketakutan dan kekhawatiran itu sudah tidak ada. Sejarah menunjukkan Prabowo tidak menjadi pengganti Suharto. Dan ia terpaksa keluar Indonesia untuk menghindari balas dendam politik.

Pada 27 Agustus 1996 [5]pukul 1600 ditemani empat orang Sherpa (Dhawa, Ghalzen Kecil, dan Kaji,), Clara mencapai puncak Everest . Ia berdoa dengan 50X salam Maria, menyanyikan Indonesia Raya sambil memegang bendera merah putih. Berpose di puncak dengan majalah Time bersampul Presiden Suharto.[6]

Kabar tentang seorang Indonesia berhasil mendahului tim ‘resmi’ menaklukan Everest tentu diterima dengan ketidak percayaan. Sebagian besar pendaki meyakini bahwa Clara hanyalah membual, berimajinasi. Terutama ia tidak bisa memberikan bukti kuat. Salah satu bukti adalah photo dirinya yang berada di puncak Everest.[7] Tentu saja kecemburuan dan faktor sexist berperan disini. Atmosfer adventur Indonesia dalam kompetisi individual yang kuat membuat klaim Clara seperti cerita dongeng. Bukan saja kecemburuan dari pendaki laki-laki tetapi muncul pula nada ketidak percayaan bahkan dari rekan pendaki perempuan.[8]

Clara sendiri setiba di tanah air kemudian menghadap Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia yang saat itu diketuai Wismoyo Arismunandar. Dalam tahun yang sama ia menerima Bintang Nararya yang dikeluarkan oleh Sekneg dengan tandatangan Presiden RI.

Yang membuat ragu apakah Clara berhasil mencapai puncak adalah tidak adanya catatan resmi. Sejak awal tahun 50an ekspedisi pendakian Everest baik sisi Nepal dan Tibet dicatat oleh seorang jurnalis perempuan dari Chicago Amerika bernama Elizabeth Hawley. Meski bukan pendaki, Miss Hawley dikenal dengan catatan kronikel akurat mengenai ekspedisi, baik yang sukses maupun gagal. Berhasil mencapai puncak atau tewas. Miss Hawley ini melakukan wawancara langsung pada pendaki dan Sherpa, melakukan kros cek, bahkan meminta konfirmasi deskripsi tempat dan suasana.[9]

Statistik Miss Hawley kemudian dikompilasi berdasarkan kronologis tahun pendakian dan dipandang sebagai catatan paling akurat dan bisa dipercaya. Ketika era internet medio akhir tahun 90an masih samar dan tidak punya kredibilitas, mountainzone.com adalah satu2nya sumber yang kemudian mengutip data dari Miss Hawley sebelum ditayangkan di internet worldwide. Di tahun 2004, databases kompilasinya kemudian dibuat dalam bentuk CD (Visual Vox Pro) dan buku bersama Richard Salisbury dalam himalayandatabase.com

Menariknya, Miss Hawley tidak menyebut Clara Sumarwati dalam statistik Himalayan Databases. Orang Indonesia yang tercatat adalah Mr. Asmujino mencapai puncak 11.10.1996 melewati rute South E. Ridge dalam nomor urut 58 dan Mr. Misrin sampai puncak 26.4.1997 lewat South E. Ridge dengan nomor urut 68. Walaupun dalam database disebutkan Misirin masuk tim Korea tetapi kemungkinan ini adalah konfirmasi mencapai puncak dikabarkan oleh tim Korea atau proses konfirmasi klaim Misrin dianggap positif oleh Miss Hawley pada tanggal itu lewat kros cek dengan anggota tim Korea.

Namun dalam referensi everesthistory.com Clara Sumarwati adalah pendaki Everest ke 88 dari Indonesia mencapai puncak pada 26 September 1996 melewati rute NC-NE Ridge (North Col-North East Ridge atau gigir Timur Laut). Ini dikuatkan dengan keterangan laporan Gatra bahwa dua buku : Everest karya Walt Unsworth (1999), dan Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) mencantumkan nama Clara sebagai pendaki Everest Indonesia pertama.


Kemungkinan tidak tercatatnya Clara karena masalah ijin/climbing permits. Seperti diketahui Everest menjadi komoditi pemerintah Nepal dan China untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak mungkin. Fee untuk mendaki di Everest bisa mencapai $70,000 untuk tim beranggotakan 10 orang. Karena mahal inilah, pendaki banyak yang mencoba di luar musim mendaki (April-Juni) ataupun menggabungkan diri dengan anggota tim lain tanpa keterikatan kebangsaan.

Keraguan tentang keberhasilan Clara ini makin menguat ketika sosoknya menjadi misterius. Ia dikenal tidak ramah pada media ataupun orang yang tidak mempercayai prestasinya. Ia juga menjadi begitu paranoia akan adanya orang-orang yang (masih) berusaha menghentikannya ataupun membungkam mulutnya. Ini juga menjelaskan kenapa keberhasilan tim Kopassus/Wanadri diberitakan besar-besaran ketimbang kesuksesan Clara yang cenderung ‘ditiadakan’.

Dalam korespondensi, saya menangkap ketakutan itu, walaupun saya coba meyakinkannya bahwa kondisi politik tidaklah seperti dekade silam. Agaknya trauma dan paranoia mengambil alih kesadarannya. Luka dalam itu, yang entah apakah kita bisa memakluminya atau tidak telah meninggalkan jejak mendalam. Kekecewaan dan keputusasaannya untuk meyakinkan orang lain nampaknya membawa pada tepi kesadaran.

Seorang teman berkomentar tentang Clara. Ia seperti John Forbes Nash, seorang ahli matematika yang berjuang puluhan tahun menghadapi schizophrenia dalam film Beautiful Mind. Seorang yang menderita penyakit ini dituduh publik sebagai orang gila. Ia bisa saja ngoceh ngga karuan, ataupun hidup dalam dunianya sendiri. Batas antara jenius dan madness terkadang hanya benang tipis. Tetapi bukan berarti seorang penderita adalah pembohong. Saya hanya ingin menegaskan bahwa Clara belum tentu seorang pembual. Sebagai orang berpikiran terbuka, saya menyadari bahwa mungkin ia mencapai puncak, dan mungkin juga tidak. Tapi jikalaupun iya, tidak akan bisa menghapus sejarah bahwa Clara-lah orang Indonesia pertama yang mencapai puncak Everest.

Bagaimanapun Clara adalah seorang pahlawan bagi adventur Indonesia. Ia bisa membuktikan bahwa seorang ‘independen’ adventure bisa melakukan tugas mulia tanpa puluhan dan ratusan anggota tim. Betul, ia seperti seekor elang yang sendirian. Tetapi seekor elang dengan beautiful mind tentulah lebih menakutkan.


Semoga Clara lekas sembuh.

=======

Catatan kaki:

[1]Anatoli Boukrev, guide tim Indonesia dalam bukunya The Climb membilang,” There is discipline, they understand the risk. I told them, you can succeed -- it's not likely the first time, maybe 25 per cent, but you CAN succeed. You can also die.
[2]Hasil investigasi tim Gatra dan Jakarta Pos yang terbit February 1996.
[3]Menurut saya, target ini sangat ambisius karena Agustus di Nepal sudah memasuki moonson atau musim badai. Umumnya pendaki Everest mencoba peruntungan jendela waktu antara April-Mei dengan kondisi cuaca yang lebih ramah.
[4]Keterangan Clara ini adalah dari koresponden pribadi antara saya dan dia di bulan September 2006.
[5] Kronologis dan deskrepsi camp yang diberikan Clara via reporter Gatra Abdul Latief Siregar tidak begitu detail termasuk ketinggian dan situasi geografis camp.
[6] Saya perkirakan adalah majalah Time terbitan Juli 1996 dengan headlines The Land of the Communist Lost.
[7] Clara mengungkapkan bahwa photo2 pendakian sebagian musnah dalam kebakaran di tempat kosnya, sebuah scenario yang diyakininya sebagai upaya mengdeskretditkannya.
[8]Tim eskpedisi laki-laki memberikan degradasi bahwa ekspedisi perempuan selalu bisa ‘dijual’ kepada sponsor ketimbang tim mayoritas laki2 ataupun campuran. Kecemburuan ini amat jamak terjadi dalam dunia adventur, tidak hanya terjadi di Indonesia. –baca Savage Mountain The Life and Death of the First Women of K2.
[9]Metode pencarian data secara konvensional ini bisa dibaca di buku biografi Elizabeth Hawley, I’ll Call You in Kathmandu.

Related Posting:
Indonesian Everest's Women Team 2007 : A Sound of Dripping Water

Comments