Saya capek dibajak..

Tulisan ini saya persembahkan untuk siapa saja yang mengambili tulisan saya baik di milis Indobackpacker maupun di website Indobackpacker. Saya merasa capek untuk memerangi pembajakan artikel di Indonesia. Tapi saya berjanji untuk tidak berputus asa.

Seminggu lalu, sebagai owner milis Indobackpacker saya mulai memberlakukan disclaimer bahwa semua tulisan disana adalah copyright masing-masing penulis. Sebagai kontributor hampir 4-5 tahun ini saya melihat banyak sekali tulisan di milis yang kemudian muncul di media mainstream dalam format berbeda, walaupun bahasa yang sama (masak sih ngga tahu tulisannya sendiri atau tulisan rekan yang lain). Sebagai milis yang diset tertutup (Messeges hanya bisa dibuka oleh anggota) adalah kesengajaan Owner/Moderator dengan harapan konsumsi konten diperuntukkan untuk member. Dalam hal ini jika isi/konten disebarkan diluar milis maka copyright penulisan tetap di tangan penulis tetapi tidak bertanggung jawab pada penyebarannya.

Dalam perjalanannya, saya berpikir positif. Bahwa media mainstream akan mulai mengenal blog dan milis serta menghargai sebagai nara sumber yang sahih (in this case : saya tidak pernah menulis atau ngeblog dengan anonim). Sayangnya sekian tahun ternyata praktik-praktik begini masih saja dilakukan oleh rekan-rekan jurnalis. Sebagai catatan tidak penting saja : saya aktif di pers mahasiswa dan mengambil diklat jurnalistik tingkat lanjut dengan UI-Gatra era Orde Baru.

Parktik semacam ini menunjukkan kronisnya pemahaman etika berinternet dan bagaimana hukum kutip mengutip, kopi pas dan bagaimana memberlakukan nara sumber. Modus operandinya adalah sbb :

  • Menggunakan konten email disana sebagai "sumber" dan kemudian dikutip di media mainstream tanpa meminta konfirmasi atau ijin terlebih dahulu. Dalam hal ini si penulis email kemungkinan tidak aware bahwa tulisannya menyebar di luar milis bahkan tercetak di koran. Untuk menyadarkan sumber pada skala efek yang ditulisnya, seharusnya ia harus diberi tahu dan diberi kredit.
  • Menggunakan konten email seperti sebuah percakapan atau interview. Apa salahnya sih menyebutkan sumber dan memberlakukannya seperti interview elektronik? sebagai jurnalis, sumber tidak harus physical (tape, video, photo etc). Karena tehnologi membuat proses interview seharusnya lebih mudah. Ada email, skype, YM atau henpon percakapan. Note : saya tidak tahu apakah editor masih menuntut semua wawancara harus "hard evidence". Jika iya, saya setuju jika liputan itu bersifat investigasi dengan kemungkinan perkara pengadilan di kemudian hari. Tapi jika hanya artikel ringan dan non-investigasi saya kira hard evidence cukup secara elektronik (itu sih tergantung bisa ngga make tehnologinya).
  • Mengkopi pas konten dan mengutip sebagian atau keseluruhan tanpa memberikan aknowledge kepada penulis dalam bentuk artikel baru dengan minimum credit (tanpa link, tanpa point the fingger darimana sumber aslinya).

Ada tiga tindakan saya dalam dua minggu terakhir berkaitan dengan hak cipta ini :
  1. Mengadukan sebuah blog yang membuat auto feed posting di blognya dengan mengambil dari Milis Indobackpacker (terakhir adalah September). Tiga kali upaya saya meninggalkan komen tidak berhasil, dan ia tidak memberikan id jelas. Tindakan saya sedikit beda yakni melakukan filing kepada Google atas pelanggaran Digital Millennium Copyright Blogger melalui snailmail (surat darat). Saya memilih melakukan ini sebagai bentuk pembelajaran bersama daripada memakai sistem flagging yang seperti mass complaint.
  2. Satu buah blog bersedia menurunkan postingnya setelah saya lakukan persuasi lewat email.
  3. Mengirim email kepada Redaksi Kompas atas ditulisnya 3 artikel Travel Tips dalam Rubrik Travel (versi Online) yang mengutip dari tulisan saya di Milis Indobackpacker (Maret 2008)

Saya tidak akan menuding semua sebagai biang kemalasan, deadline yang ketat atau kecilnya gaji. Tapi saya lebih kepada penyadaran isntitusional bahwa mengutip, menyadur dan mengambil itu memerlukan aknowledgement. Email sebaris dua, pop messeges, atau pesan selintas sudah cukup memberikan kredit bagi sumber. Kehausan akan konten tidak berarti kita bisa mengambili dengan begitu saja.

Paradigma yang salah tentang konten di internet, bahwa semua disana bisa diambili dengan gratis sepatutnya mulai dihapus. Siapapun yang memberikan informasi bagi kita adalah orang-orang yang menyisihkan waktu, tenaga dan biaya untuk menulis dengan passion dan cinta. Bajak membajak (piracy) adalah bukti sakitnya mentalitas kita, yang menganggap jika semua orang melakukan maka itu BOLEH dilakukan. Seperti korupsi, jika semua orang melakukan tidak berarti korupsi itu boleh dan legal.

Saya capek dibajak, tapi saya tidak akan capek untuk meminta publik menyadari hak tulis di internet. Khusus bagi jurnalis mainstream, belajarlah ngeblog. Belajarlah menggunakan link, belajarlah memberikan kredit pada penulis lain.

Marilah menulis dengan sehat!

Comments