Golden Gate : Tempat terindah untuk mati



Ketika mengantar May ke Golden Gate minggu lalu, saya berterus-terang belum pernah menapak jembatan itu. Sekali saja saya melewatinya, membayar toll $6 sejauh 120m ini tidak memberikan sensasi apapun. Hanya warna merahnya selalu saya nikmati di kejauhan dari Dermaga 45. Bukankah Golden Gate terkesan magnificent jika terlihat utuh?

Saya memilih parkir di Merchant Rd, kemudian menyusur tebing arah Pasific, melewati bawah jembatan dan kemudian mengambil jalan setapak yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Siang itu San Francisco sedang mendung. Awan berarak dari lautan membawa angin dingin kearah Bay Area. Saya lupa mengingatkan May, bahwa SF itu lebih anyep dari San Jose.

Mulailah kami menapak. Saya bukan guide yang baik, jadi saya persilakan May mengintrepetasikan sendiri. Buat saya yang tukang bikin jembatan, bicara teknis nanti jadi bertele-tele. Tentang cat merah padahal di desain adalah oranye misalnya atau kenapa dibuat dengan system kabel tentu jadi topik yang boring. Saya sebenarnya pengen ngobrol soal geologi, yang tentu May lebih tahu.

Jalur pejalan kaki ini memang hanya di sisi timur. Pilar besar dan kabel cukup tinggi, tapi pagar pembatas hanya setinggi dada. Dibawahnya ada semacam dek yang biasa dipakai untuk pekerja jembatan. May bahkan berkomentar, “ Seperti jembatan sungai Musi ya mbak”. Saya terdiam mengiyakan

Saya menunjuk telpon di jembatan. Kok? Yah itu adalah fasilitas bagi siapapun untuk menelpon Crisis Centre. Golden Gate adalah pelabuhan bagi jiwa yang resah, putus asa dan kehilangan makna hidup. Tempat yang indah untuk mengakhiri hujaman persoalan tak terselesaikan. Tempat yang indah untuk melompat dan mati.

Tiba-tiba saya teringat kisah para “jumpers” di Golden Gate.



Tahun 2007 adalah kontroversi besar tentang sebuah film dokumenter “The Bridge” karya sutradara Eric Steel. Sejak 1 januari hingga 31 Desember, ia memfilmkan Golden Gate berikut orang-orang yang memutuskan mengakhiri hidup disana. Project film yang dikecam sebagai American prankers oleh media setempat. Tercatat 24 orang memutuskan melompat tahun itu, menambah jumlah menjadi 1200an sejak dibangun 1937.

Eric sendiri menyatakan bahwa filmnya dibuat sebagai bagian dari kampanye untuk menyelamatkan hidup. Bukan untuk merayakan bunuh diri itu sendiri. Saya setuju sepenuhnya. Bukankah mereka itu mempunyai pilihan? Dan sekedar mengingatkan insan bahwa yang mereka lakukan meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan sahabat terdekat.

Saya mencoba mengintip ke bawah. Ombak disini begitu pelan, mendayu. Kelopak dan suara jeritan camar terlihat lebih lantang. Terkadang deretan burung pelican mencoba menyeberang. Saya bisa mendengar suara benda terjatuh. Terkesiap. Hingga saya sadar itu adalah pelican yang meluncur cepat sembari menyambar ikan.

Siang itu Golden Gate masih pucat. Alcatraz dan Pulau Angel nampak di kejauhan. Saya tidak bisa membayangkan lebih jauh lagi. Jembatan ini menyimpan nyanyi pedih.

**

Lokasi Golden Gate di Peta
The Bridge Documentary at Youtube (10 parts)
Jumpers : The fatal grandeur of the Golden Gate Bridge (The New Yorker)
The Bridge of Broken Dreams (Sunday Times London)

Comments