Boxing Day Shopping di London: Pelajaran Yang Berharga



Memperingati hari diskon seluruh dunia.
tulisan ini berhubungan dengan tukang belanja


Saya memang ngga hobi shopping tapi pernah terbujuk mencoba. Godaan itu besar sekali, terutama tawaran SALE yang merajalela. Apalagi deket2 libur panjang ini. Boxing Day adalah hari libur kedua Natal atau 26 Desember. Hanya negara Inggris, Australia, Canada dan bekas2 jajahan Britain yang merayakannya.

Hari itu dikhususkan untuk cuci gudang semua produk yang ngga terjual menjelang natal. Atau sisa musim kemaren. Terkadang diskonnya gila2an. Bisa £50 menjadi £5 saja ! apa ngga ngiler tuh…

Suatu hari kami berombongan pengen ke London. Seorang kawan saya yang hobi shopping rupanya sudah menyiapkan diri. Dia bahkan sudah memberikan tutorial kepada saya yang notabene ‘buta’ soal branded stuff. Oh kalau sepatu kamu harus beli Clark soalnya bagus bahannya, mahal lagi di Jakarta. Tapi kalau baju coba deh ke Mexx atau Esprit. Kalau mau ngantri di konter Next dari pagi ditanggung dapet bagus loh! Tapi Mango itu juga cakep banget dress-nya. Begitu kawan saya terus mempromosikan keampuhan masing2 merk. Memang selera dia tidak high end seperti personal boutique YSL,yah sedeng2 saja sebenarnya.

Dengan bis National Express kami ke London, berangkat pagi. Kita minta diturunkan di Marble Arch oleh sopirnya. Sambil jalan kaki menahan dingin kami menyusuri jalanan Oxford St menuju stasiun kereta Underground Bond St.

Sambil jalan kami muter2 dulu, menikmati London Desember sungguh campur aduk. Banyak hiasan natal yang cantik. Orang2 berjalan menenteng belanjaan dengan senyum bahagia. Anak-anak digandeng ibu bapaknya sambil melompat senang. Langit walaupun nampak tak ramah tapi tidak hujan. Hawa dingin menusuk, saya bersyukur memakai baju hangat berlapis. Tapi angin yang kencang membuat saya terus mengigil.

Karena ngga ada kejelasan kami bergerak menuruti kaki. Mengikuti kawan saya yang hobi belanja tadi. Sepanjang jalan ini memang penuh toko. Pokoknya kalau ada plang sale kita masukin. Terutama menengok Selfridges. Waktu itu belum dibuka di Birmingham jadi rasanya kesana adalah keharusan *masih mengutip kawan tadi*. Di Selfridges kami cuma nonton. Heh biar diskon masih muahal euy.

Mencoba Benetton, kami lantas berpencar. Pilih ini itu. Lucu deh warnanya. Saya lihat harga. Waduh kok ya masih mahal. Ganti lagi. Ngga ada yang saya ambil hingga pilihan jatuh ke sebuah set syal dan kaos tangan. Warna ngejreng khas Benetton membuat saya memilihnya.

Kami bergerak ke highstreet shop lain. Saya yang ngga ada ide di kepala, hanya beli karena pengen beli. Waktu itu dianggap murah, pokonya jangan tanya kalau dirupiahkan. Saya mulai stop bermain itung2 valas sejak dua bulan di Inggris. Senep banget dah.
Acara berikutnya ke Harrods dengan numpak tube (nickname untuk underground train di London). Hmm pokoknya ultimate shopping ngga lengkap sebelum kesana.

Harrods sebenaranya menyenangkan. Gedungnya kuno dan tertata cantik. Memang mewah sekali. Pintu dibuka oleh seorang butler dengan bajunya yang khas. Bau wangi segera tercium semerbak. Lantai kinclong seperti tidak pernah tersentuh jejak tanah. Hiasan di pilar dibuat dengan emas dan warna hijau tua. Beberapa konter dibuat seperti disepuh emang. Pokoknya bikin silau.


Lantai satu lebih dikhususkan untuk perhiasan dan kosmetika. Hal yang pasti saya lewati. Kawan2 memilih terus berjalan. Hingga terdampar di semacam food counter yang lapang. Tiba2 saya ingat kalau belum makan. Saya lapar tapi saya tahan.

Kami meneruskan meyusuri lantai per lantai. Capek sekali. Kawan saya masih semangat sedang beberapa kawan mulai menggerutu. Lha kan udah dari tadi nyari2nya. Ternyata juga dia ngga beli apapun. Trus ngapain gitu loh.

Rupanya dia sudah cukup puas dengan shopping spree sebelumnya. Atas persetujuan bersama kami ke Piccadily Circus. Sekitar situ juga banyak toko. Halah..

Sebenarnya disinilah holy grail shopping. Tapi rupanya persediaan duit sudah menipis. Kami hanya jalan jalan jalan dan mencari makan. Ngga tanggung2, kami menuju restauran Indonesia Melati di pojokan daerah merah Picadilly. He he he…soalnya tepat di depan restaurant terpampang gambar seronok lengkap dengan seorang gadis sexy di pintunya. Selesai makan kami lantas bergerak pulang menuju Victoria Bus Station.

Selesai? Tidak sodara-sodara. Sambil pulang naik bis saya itung2 pengeluaran. Kalau ngga salah terhitung sekitar £200an. Hari ini saja, tidak termasuk transport dan makan bareng di Melati tadi. Saya terperanjat. Seumur-umur baru kali itu saya belanja sehari sekian banyak. Dan yang lebih menyedihkan hampir semuanya adalah pakaian. Saya bekerja keras untuk mendapatkan uang dan hanya beberapa jam habis begitu saja.

Saya menatap tas-tas belanja tadi. Saya intip isinya. Baju jumper yang sebenarnya saya udah punya. Kaos tangan dan syal yang hanya dipakai kurang dari satu tahun (waktu itu saya sudah bersiap pulang ke Indonesia). Sya lihat price tag-nya. Iseng saya bolak-balik lebih jelas. Ternyata hampir semua barang itu dibuat di negara ketiga, Bangladesh, India, Vietnam bahkan Indonesia. Tiba-tiba saya menyesal membelinya. Semurah-murah di Inggris jatuhnya ya sama saja dengan harga di negara itu. Sebuah pertanyaan besar membebani. Lantas kenapa bisa mahal sekali disini ya?

Merk2 besar itu ternyata outsourcing, membangun pabrik di negara dengan industri tekstil yang bagus. Untuk murahnya mereka membeli, memotong, menjahit dan mempak di negara tadi. Itulah saktinya globalisasi.

Tiba dirumah saya lempar tas itu di pojok. Saya berpikir mengirim saja ke Indonesia. Sapa tau mereka membutuhkan. Tapi saya tahan. Saya bukan Santa Claus dan tidak akan membiarkan orang lain atau keluarga menganggap begitu. Jadi saya simpan saja, dipakai jika perlu. Boxing day shopping itu sungguh membekas. Titik dimana saya melihat barang bukan sekedar merk. Tapi darimana mereka dibuat. Juga membiasakan second thought sebelum membeli.

Setelah itu saya menjadi hati-hati. Godaan besar SALE memang masih ada. Saya masih beli kadang2, terutama jika saya memang butuh. Tak lama kemudian area shopping terbesar Eropa dibuka di Birmingham. Saya kesana karena ada Border dan Apple Centre. Ketika saya pindah ke Solihull, wilayah yang kata orang menyenangkan untuk shopping saya tetap jarang menengok. Dengan jalan kaki 15 menit saja saya bisa mengunjungi satu2nya John Lewis di Midlands. Tapi boleh percaya boleh enggak selama setahun tinggal di Solihull saya hanya sekali saja nyambangi.

Beberapa bulan kemudian saya balik ke Harrods. Bukan untuk belanja tapi sekedar menemani kawan saya. Kala itu saya memakai first class Virgin Train dari Birmingham ke London. First Class? Ah itu gratisan dari kawan yang menang undian. He he he… Ketika saya memasuki Harrods, beda sekali rasanya. Saya merasa lebih rileks. Saya tidak melihat baju £2000 dengan mupeng, tapi dengan sebuah perasaan dalam.

Tahukah tangan siapa yang membuatnya?

Comments