Kenangan dengan para penakluk Everest wannabe















Diambil dari milis pangrango

Catatan : kisah episode ini tak terlupakan karena membuat saya makin sadar bahwa saya tidak ingin mendaki Everest. Buat Jo dkk teteup semangat yah...I will support you guys!
-------------------------

Ketika kedua kawan saya terbaring di kamar tidur sebelah setelah trek panjang menuju Pheriche (4200m), saya memilih menuju ruang makan di lodge. Alasannya karena ngg bisa tidur dan kepala mulai senut2 akibat penyakit ketinggian. Minum teh mungkin bisa menyembuhkan sedikit, pikir saya.

Ruang makan adalah berukuran sekitar 5x6m dengan dinding kaca dan kayu yang cukup menahan dinginnya hujan salju yang menerpa kami ketika mencapai penginapan ini. Dinding dilengkapi bangku mengitari ruang yang dirancang sebagai tempat duduk dan sekaligus tempat tidur. Karpet buatan para suku nomaden di Himalaya terlihat indah dengan pola warna-warni. Poster bertebaran disana-sini berisi ekspedisi2 Everest atau deretan pegunungan sekitarnya. Dilengkapi foto gunung dan foto pendaki legendaris seperti Messner atau David Breashers.

Dingin menusuk tulang membuat saya memutuskan mendekatkan diri didepan chimni (penghangat seperti tungku dari besi dengan cerobong diarahkan ke atap). Bau tajam dari kotoran binatang yak yang menjadi bahan bakarnya menyesakkan dada. Tapi semua terkalahkan oleh kebutuhan akan kehangatan (uh ah uh...jangan ngeres yah..).

Ternyata chimni sudah dilingkari beberapa orang disana. Saya beranikan duduk manis. Terasa jengah....karena mungkin muka saya yang bertampang asia sendirian dan juga seorang perempuan. Mungkin lebih bisa dikatagorikan sebagai sherpani ketimbang trekker. Ram sang guide dan Pram sang porter nampak mojok dengan sesama genk porter-nya. Ram memberikan kursi untuk saya duduki didekat chimni. Suasana masih tetap ramai namun akrab.


Cowok manis disamping saya menyapa (ampun..hiks manis tenan). Ujung punya ujung ternyata mereka ini adalah calon penakluk Everest. Ada 7 orang dalam 1 tim yang diorganisir Asian Trekking. Ah ya...dimana yah nama ini pernah terdengar? halo...inget ngga ? saya membongkar memori sambil menekan tombol search dengan kata kunci "asian trekking" di otak ini.

Loh itu kan organiser yang kemaren menimbulkan perguncangan jagad dunia pergunungan (sori bleem ngg ada yang bisa silat disana). Itu loh inget David Sharp yang mati sendirian di Everest, diabaikan oleh kawan2 pendaki pada tepat Mei 2006. Cerita obrolan bergulir tentang tim siapa saja yang sekarang berusaha muncak terutama dari sisi Nepal. Biasalah saling ngrasani sembari cela-celaan.

Tim pertama kena korban adalah Tim Korea. Tahun ini Korea menempatkan tim dalam jumlah besar. Bahkan ada tim solo dan tim dari sisi selatan -yang 2 orang pendakinya tewas 16 Mei 2007 lalu dari ketinggian 8300m. Konyol juga mereka klo mencela, saya senyum kecut saja sambil gumam. Oh ternyata ya sami mawon klo urusan cela-mencela. Bedanya joke mereka
lebih segar dan tidak personal.

Tak lama seorang Nepal setengah baya menghampiri. Ia memilih duduk disamping saya. Saya menyapa dan si cowok cakep tadi memperkenalkan nya sebagai Pertemba Sherpa sang basecamp manager untuk Asian Trekking. Haduh.... kok kebetulan banget. Batin saya : wah Nanung pasti nyesel terbaring di kehangatan sleeping bag, sedang saya ditemani seorang sherpa legendaris. Disini sembari ngobrol apa saja.

Ia diperkenalkan sebagai sherpa senior yang pernah membantu tim British pimpinan Sir Christopher Bonnington ketika mencoba sisi selatan Everset di tahun 1970an. Hah...saya mah belum berbentuk embrio saat itu. Bapak sepuh ini dah karatan banget. Heibatnya beliau masih gesit dan terlihat awet muda.

Kesempatan ini saya gunakan banyak bertanya tentang ekspedisi2 Everest sebelumnya terutama era 70-80an yang luput dari detail di buku2 yang saya baca. Tentang kematian Peter Boardman -anggota termuda tim British ketika mencoba membuka rute baru Utara-gigir Utara Timur tahun 1982. Namanya diabadikan bersama Joe Tasker sebagai nama award untuk penulisan literature buku tentang mountaineering dalam event Kendal Mountaineering Festival yang dilaksanakan tiap musim gugur di Kendal, Lake District UK (asli! namanya emang sama dengan Kendal di jateng).

Satu kejutan saya adalah salah satu pendaki dari tim Asian Trekking adalah dari Malaysia. Sayangnya ia saat itu sudah berada di Base Camp dalam rangka aklimatisasi. Sedang keenam rekannya masih terdampar di Pheriche, di ruang makan ini.


Mendengar cerita mereka dan dedikasi untuk menaklukan Everest bukannya makin mengobarkan semangat gunung saya. Malah sebaliknya. Loh! Mereka harus menyisihkan waktu 1 tahun berlatih full time, meninggalkan pekerjaan dan keluarga. Dengan resiko bahwa puncak tidak teraih. Pertaruhannya terlalu besar. Saya mah pendaki lemah dengkul begini mana kuat. Kuat tenaga dan kuat dana maksudnya.

Malam itu tak terlupa. Bukan saja bertemu para calon pendaki dan kisah mereka. Juga menyadarkan bahwa puncak ada 2 macam. Puncak fisik dan puncak batin. Bahwa puncak adalah batas kemampuan sendiri. Buat saya puncak saya bukanlah di puncak Everest.

Kepala pusing bukannya sembuh. Chiya dengan susu (teh assam yang kental made in nepal) berkali-kali ditenggak. Semangat makan menurun drastis. Hanya sesendok dua, sedang sisanya dibiarkan saja. Gini toh gejala sakit ketinggian itu. Ini gejala pertama setelah melewati batas magic 3500m. Ketinggian ini adalah limit kemampuan manusia untuk adaptasi dengan kondisi yang makin ektrem.

Mungkin ini adalah 'puncak' saya.

Comments