I do not hate Jew but I hate WAR


Miris sekali mendengar, membaca, melihat perang baru Israel-Lebanon. Saya masih ingat ketika di tahun 1980an berita yang sama menghiasi tv dan koran di Indonesia. Saya masih kecil, tapi saya bisa mengingat foto dan gambar hidup tentang gedung yang poranda dan anak2 yang menangis. Karena itu saya ingin berbagi melihat perang dari sisi yang lain.

Ketika kemping ke London beberapa minggu lalu saya sempatkan pergi ke Imperial War Museum. Saya pernah melihat museum yang sama di Manchester, jadi sebelum memasuki gerbang saya tidak terlalu berharap ada perbedaan yang besar antara keduanya. Tadinya saya berpikir ah ngapain sih liat2 museum beginian...perang kan sudah usai. Ternyata saya salah. Melihat museum seperti melihat sejarah dan menyadarkan saya bahwa perang bisa terjadi dimana saja, dengan alasan apa saja. War of Terror, War of Poverty etc..

Begitu memasuki gedung nan tinggi terlihat display yang menarik. Ada tank dan roket yang dibuat transparant sehingga kita bisa melihat di dalamnya. Tehnologi yang dipakai dan juga efect lethal yang diakibatkannya. Little Boy misalnya adalah nama sandi bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima 6 Agustus 1945. Sedang Fat Man adalah bom atom yang dijatuhkan tiga hari kemudian yang mengakhiri Perang Dunia II. Tercatat lebih dari 100ribu orang meninggal dan banyak yang selamat mengalami efek radioaktif hingga akhir hayatnya.

Little Boy adalah produk eksperiment Amerika yang tidak pernah diujicoba, sedang Fat Man sempat ditest di Alamogordo, New Mexico tiga minggu sebelum diluncurkan di Jepang. Kedua bom atom ini mempunyai tehnologi berbeda. Little Boy dari uranium dan Fat Man dari plutonium. Saya terperangah dengan bentuk fisik Little Boy. Begitu kecilnya hanya dengan panjang 3m berdiameter 71cm tapi tingkatan destruktifnya luarbiasa.

Hari itu kebetulan ada pameran The Children's War : The Second World War through the eyes of the children of Britain. Ini seperti melengkapi cerita PDII yang tidak pernah saya dapati di sekolah. Ketika ancaman Fasis Jerman mulai terasa, Hitler mulai mengeluarkan ancaman untuk menyerbu London kapan saja. Dimulailah kampanye mengungsikan anak2 dari ibukota untuk tinggal di desa. Disana anak-anak ini dititipkan kepada para petani sembari menolong mengerjakan pekerjaan berkebun. Tahun itu juga semua anak dibekali masker anti gas sebagai upaya penyelamatan diri jika Nazi mendrop gas beracun. Gas yang sama yang digunakan untuk membunuh para Jew/ Yahudi di kamp konsentrasi (Holocaust).

Saya dituntun menuju tempat yang beda. Oh ternyata saya memasuki rumah dengan setting jaman 1940an. Semuanya seperti nyata apalagi saya bareng dengan pasangan yang mengalami masa2 itu. Jadilah kami bernostalgia tentang bunker di dapur yang dibuat seperti kandang ayam dari baja, bunker di bawah tanah untuk menghindari serbuan bom dari udara berikut dapur dengan makanan dijatah.

Hmm saya pikir selanjutnya mumpung disini saya harus melihat pameran Holocaust Expedition di bagian lain museum. Saya jadi penasaran seperti apa sih 'mistis' tentang genocide rasial itu. Memasuki ruang saya langsung merasakan dingin. Setting pameran dibuat hitam, sendu, kelam mungkin ingin menggambarkan sekelam peristiwa itu. Di pintu sudah ada peringatan bahwa anak-anak dibawah umur 16 dilarang memasuki ruangan. Alasannya : foto2 terlalu sadis dan menyedihkan.

Pertama saya disuguhi sederetan kampanye anti semit yang ternyata sudah dimulai sejak jaman dahulu kala (70AD ketika Yahudi masih dibawah sekte agama Kristen). Juga film pendek tentang asal muasal kebencian terhadap kaum Yahudi.
Di Jerman ketika kaum fasis Jerman mengambil alih kekuatan dengan partai Nazi, Hitler memulai propaganda untuk menciptakan super-ras. Yakni bentukan ras yang mempunyai keunggulan fisik dan otak. Hitler tidak hanya mengincar Jew di Jerman tetapi juga rasial lain seperti di Polandia, Rusia, Ukraina, Belarus, Serbia dan Rumania termasuk kaum gipsi, komunis, cacat fisik/mental dan homoseksual. Beberapa bahkan dibuat kelinci percobaan atas senjata militer yang baru ditest.

Lantas saya dijejali berbagai kampanye kebencian dan tindakan2 yang sungguh susah diterima. Seperti Hingga akhirnya ke jantung peristiwa Holocaust itu sendiri. Pembunuhan massal itu. Yang mengiris sebenarnya adalah begitu metodik dan sistematis pembunuhan itu dilancarkan dengan data-data sensus. Daftar panjang orang-orang berdasar ranking rasial dan kondisi fisik dikategorikan sebagai 'layak dimusnahkan'. Bukti juga mengungkapkan berbagai cara dilakukan dengan percobaan untuk mendapatkan metode yang cepat, aman, dan efsien artinya bisa membunuh banyak orang dalam waktu singkat.

Ah saya ngg tahan liat foto2 mayat bergelimpangan. Tapi saya lanjutkan untuk melihat bagaimana kaum Yahudi mencoba bangkit, bagaimana dunia (Tentara Sekutu pemenang PDII) melampiskan rasa bersalah mereka dengan memperkenankan kaum Yahudi tinggal di wilayah Palestina yang kemudian menjadi konflik baru di kemudian hari.

Saya kemudian membayangkan peristiwa sama di Bosnia ketika dunia internasional gagal mencegah pembunuhan massal ribuan muslim disana, atau pembunuhan ribuan kaum Kurdi di wilayah Iraq yang dilakukan Saddam Hussein, atau kebencian rasial Hutu-Tutsi di Rwanda dan bahkan bom bunuh diri. Ketika beranjak keluar saya menikmati sinar matahari pagi, bernafas lega bahwa saya tidak diantara konflik dan perang. Tapi di belahan dunia ini, perang akan menjadi bagian sejarah manusia. Dan anehnya kita tidak pernah belajar dari sejarah.

Comments