Serawak Borneo May 2005 Headhunter Trail


skull hanging in their longhouses (sources: takumedia.com)

Day 4 Tues 25/05/05 Headhunter’s Trail

Waktu itu sekitar abad 18an suku Iban yang aslinya tinggal di muara sungai Kapuas bermigrasi ke wilayah hulu Borneo. Ini menghasilkan tentangan dari beberapa suku yang telah menetap di tepian sungai. Terjadi perang suku yang dasyat yang digambarkan sebagai “sungai menjadi merah oleh darah”. Ini juga menjadi awal tradisi yang ditakuti : headhunter alias memburu kepala.

The headhunters trail sekarang adalah jalur trek yang dulunya dipakai suku Kayan untuk menyergap orang Iban dan suku-suku lain yang hidup di sekitar Limbang. Jalur ini kemudian berkembang menjadi jalur perdagangan bagi warga yang tinggal di pegunungan ataupun yang ingin memasuki Indonesia. Perang suku yang panjang inilah yang menjadikan suku Iban jatuh ke tangan White Rajah James Brooke di tahun 1835.

Hari ini hanya kami yang melakukan trekking hingga Kuala Terikan. Tim-tim lain memilih balik ke Miri dan sebagian meneruskan ke Sabah untuk mendaki Mt. Kinabalu. Kami berangkat sekitar 0800am. Richard –sang guide sudah mengingatkan bahwa trek ini terkenal akan keganasan pacet-nya. Waaaaa jadi yang kemaren itu belum ada apa2nya toh ????

Menurut dia ada dua tipe pacet.
Ground leech bentuknya seperti cacing, berwarna kecoklatan, bergerak mirip dengan ulat (pake perut). Biasanya mengenai kaki ketika kita berjalan di belukar. Sedang Tiger leech (Hassiphonia Species), Bentuknya tidak panjang, warna kehitaman, terasa klo mengigit, dan suka menyerang badan keatas. Perilaku yang lain adalah pacet tipe ini menghasilkan enzym yang membuat darah berhenti membeku. Jadi sekali kena bisa berdarah-darah sampe setengah jam. Aku juga mengamati bahwa pacet suka memilih lekukan tubuh yang mempunyai pembuluh darah lunak seperti paha, perut dan pinggang (hmmm yummy…)

Sadar dengan bahaya kami eksperiment taktik baru. Pake celana sengaja kepanjangan, kaos kaki wol tinggi dan gaiter disemprot dengan insect repellent dulu. Si Richard ngetawain aja. Dia memilih celana pendek, kaos lengan pendek dan cuma sandal gunung !! Bah….ini namanya mengorbankan diri.

Trek ini berjarak 11.3 km cenderung rata. Vegetasi juga lebih rimbun dengan pepohonan yang tinggi. Sinar matahari hanya kadang2 menyelip diantara pepohonan yang ditebang khusu untuk pemeliharaan trek. Beberapa kali kami memergoki hasil perbuatan pemburu hutan yang mengambil rebung bamboo ataupun tanaman lainnya. Jalur ini juga dipakai orang China di awal perdagangannya dengan suku Dayak. Kami santai saja hari ini dan kebetulan cuaca sangat membantu. Bunyi cicadas ngga henti-hentinya terdengar, kadang terdengar aneh. Burung-burung pun bergantian menghasilkan konser alam yang indah. Kami sempat memergoki seekor burung yang mempunyai ekor sangat panjang (eee lupa namanya, liat di foto aja). Kami musti mengendap-endap dan mengamati dalam jarak 20m.

Guide kami ini juga menunjukkan daun kayu api (ngga pasti namanya). Daunnya jika dibakar akan menghasilkan suara letusan seperti petasan. Mereka percaya dengan membakarnya akan mengusir ruh jahat. Biasanya dilakukan jika turun gunung atau ketika seseorang meninggal. Tapi dasar anak2 biasanya dinikmati karena suaranya yang riuh. Jalur trek ini lumayan rapi, walau kadang hilang disana-sini. Juga terdapat plank kayu jika trek melewati rawa atau sungai dangkal. Oya kami banyak menemui sungai berwarna coklat seperti teh karena tanah sekitanya yang bergambut (peat).

Setelah sekitar 4 jam kami sampai di sungai Terikan. Disini terdapat jembatan tali untuk menyeberang. Asyik juga melewatinya. Terutama karena diikatkan di pepohonan di kedua ujungnya dan tali tambahan untuk mengurangi efek ayunan. Usai menyebrang terdapat sebuah tempat peristirahatan kecil tak jauh dari sungai. Kami berhenti dan kembali melancarkan aksi “leech operation”. Kali ini hanya dua tiger leech di perut dan beberapa nempel di gaiter dan rucksack. Sedang Richard- hmm harus menerima konsekuensi bersandal gunung. Tiga gigitan ganas mengenai kakinya. Aku juga menemukan fakta menarik bahwa rucksack-ku yang berwana lebih gelap ternyata sangat digemari pacet. Terbukti eksperiment lumayan berhasil walau tidak memuaskan. Pacet cuma nemplok di tangan dan segera dibuang sebelum menancapkan giginya.

Tak lama seorang laki-laki paru baya datang menghampiri. Ternyata beliau ini Pak Payong, penghulu Sigah yang akan membawa kami dengan perahu untuk tinggal di rumah panjangnya di tepi sungai Mentawai. Di keranjang khasnya telah tersedia makan siang buat kami. Wah nikmat apalagi sehabis cibang-cibung di sungai. Kali ini rucksack dan semua peralatan kamera terpaksa dimasukkan dalam tas waterproff. Karena sungai Mendalam yang akan kami lalui ini terkenal arus derasnya.Juga melihat cuaca kayaknya hujan segera tiba.

Benar saja tak ada 20 menit kami tinggalkan Kuala Terikan, hujan mengguyur dengan derasnya. Benar- benar seperti tercurah dari langit. Beberapa kali kami harus melewati arus yang mendebarkan. Aku cengar-cengir aja, terkadang rada gelagapan. Pak Payong dengan sigap mengendalikan perahunya.

Walau hujan kami menikmati 2 jam perjalanan berperahu. Bahkan sempat terbuai dengan suasana. Hingga sampai juga kami di rumah Pak Payong. Rumah panjang yang dihuni hampir 23 keluarga ini cukup rapi. Aku lihat beberapa jala disangkut didepan rumah. Sebagai penghulu, Pak Payong hidup diatas rata2 orang Dayak. Akan sangat mudah ditemui freezer atau toaster disini. Bahkan demi kenyamanan turis, sebuah toilet duduk dan shower siap sedia. Walau tentu saja air-nya dari ember.

To be continued (menuju Limbang dan makan malam dengan pakis hutan yang lezat)

Comments

Hany said…
top abissss.... jadi puengen bgt deh. ada jalur yg bisa bawa 2 anak cuilik tanpa kena pacet? hwehehehhe.... nanti deh kalo anak2 dah gede.
ambaradventure said…
wah klo mau se nyampe pinnacles wae udah enak koq, kapan2 ke Kinabalu yok. Dijamin ini jalan tol....