Shortstory : SURAT UNTUK IRA

Salam jumpa setelah sekian lama kita tak pernah bertukar sapa. Aku tidak tahu kenapa sulit sekali menghubungimu. Email dan telpon nampaknya kurang mujarab untuk menyembuhkan kangenku padamu. Setelah pertemuan terakhir kita di tempat kita dulu pertama bertemu, hari menjadi begitu panjang.

Aku menunggumu.
Kamu sedih nampak matamu memucat dan garis kecoklatan terlintas di samping kelopak membuat mukamu yang letih nampak makin pucat.


“Ada apa Ira?”
Kamu diam. Mengulum lidah, mebolak-balik tissue ditangan
Kusentuh tanganmu.
Kau menepis dengan anggun sembari mengusap bibir dengan tissue yang makin kumal

Aku mengeluh, memilih diam. Tapi…
“Bicaralah, aku bisa mati kalau melihatmu begini”
Matamu nyalang menatapku, mencari kebenaran. Dan kurasa getaran di bibir ingin berucap.
Tapi kamu tetap membisu.

“Kamu tidak apa-apa kan?”
Dan pecahlah tangismu. Tangisan tertahan dengan guncangan bahu yang hebat. Air mata yang nampak susah keluar, mungkin telah kering.
Tuhan… aku ingin memelukmu. Ingin mengusap rambutmu dan menyentuh pipimu yang makin merah.
“Aku akan pergi Bing”

Tampaan panas menerpa muka, menjalar ke telinga. Aku tak peduli lagi. Kuraih tanganmu dan kugenggam erat.
“Jangan”..
“Aku tidak bisa begini lagi”
“Kamu harus kuat”
“Aku bukan perempuan kuat Bing. Aku runtuh, hilang dan tak punya apa-apa. Aku terlalu bodoh untuk menyadarinya saat ini. Perempuan mungkin diciptakan untuk dimiliki, disayangi dan dilempar ke sudut ruangan jika tak dibutuhkan. Naïve memang tapi begitulah dunia. Aku belajar”

“Tapi itu bukan kamu
Aku yakin kamu bisa keluar dengan perjuanganmu sendiri.”
“Itu bukan perjuangan Bing. Itu sia-sia.”

Nampak sisa kekuatanmu hanya ditimpakan sesaat, lupa bahwa aku disini menawarkan kebodohan yang sama. Aku membenarkannya jauh di lubuk hatiku.

Sisa derai air mata mulai mengering menyisakan garis kemilau di pipimu. Kembali aku melihat Ira yang dulu. Rasional dan teguh, intanasi yang tertata. Yang membuatku makin terbuai.
“Penantianku layaknya derai daun jatuh beserakan, hilang di bawa lambaian angin. Sia-sia.
Semua orang menyaksikanku dengan takjub. Bintang ternama dengan deretan prestasi dan bayaran tak masuk akal. Hidup dalam keluarga bahagia. Suami kaya dan anak yang lucu. Apalagi yang kuinginkan ??? Tak ada yang tahu bahwa semua itu adalah bohong besar. Aku letih dengan ini semua Bing. Dengan kebohongan ini”
“Aku akan pergi Bing”
“Aku harus pergi…”

Aku diam, tanpa tahu untuk mencegahmu atau menyertaimu. Aku tahu kamu sungguh-sungguh saat ini. Sangat-sangat serius.
“Bolehkan aku bersamamu?” aku menggoda –bukan meminta
“Untuk apa?” datar dan dingin. “Toh kamu juga tidak akan merubah keadaan”.

Kamu benar aku memang tidak berguna.
Lima tahun persahabatan kita cukup untuk membuatku tahu bahwa akupun tak akan setegar dirimu. Lima tahun persahabatan kita cukup membuat aku memahami bahwa aku tak akan mampu menghalangimu.
Terlalu kuat untuk ditaklukan dan terlalu lemah untuk direngkuh. Saat ini……

Aku hanya ingin memelukmu. Sekali saja.
“Bing, aku ingin kamu berbuat sesuatu untukku”.

Kali ini kamu lebih hangat, menawarkan aura yang dulu membuatku terpesona. Matamu kembali bersinar. Bola hitam bermain riang, lupa disaat air mata mengalir melintasinya.
“Ya..apapun akan kulakukan. Untukmu Ira..”

Karena aku mencintaimu, sejak aku menemukan cinta di matamu.
“Bawa anakku pergi dari sini. Aku tidak mau ia menjadi bangsat seperti ayahnya. Dan aku tidak akan merelakan ia menjadi besar di lingkungan ayahnya. Aku tahu kamu akan menjadi ayah yang baik untuknya.
Aku tertegun. Tidak percaya apa yang kudengar. Aku ingin tuli saat ini.

Kamu tersadar.
“Oke, tunggu. Jangan bilang tidak dulu” .
Katamu sembari menutup mulutku yang siap mengajukan protes. Kamu mengulum lidah memulai ide gila ini. Tanganmu meremas dengan gelisah.

“Aku tahu betapa besar resiko ini, tapi ini satu-satunya jalan Bing. Suamiku tahu semua kawan dan keluargaku, kecuali kamu. Aku selalu mengatakan bahwa kita dalam hubungan profesional. Model dan photographer. Itu saja. Dia tidak tahu sejarah panjang persahabatan kita sejak awal karirku. Karena itu aku percaya padamu. Hidupku kupercayakan padamu”

Aku ingin bilang tidak. Tapi matamu memohon dan itu yang tak sanggup kutepis.
“Ira, kamu sadar dengan ini semua. Terlalu besar resiko yang akan dihadapi. Kamu mengorbankan dirimu. Kamu hanya..

“Tapi aku harus keluar saat ini Bing. Tekanan makin berat . Aku dan anakku harus dipisahkan. Dan aku rela mati untuk itu”
Aku ternganga. Aku memang mendengar rumor reputasi suamimu di kejahatan negeri ini tapi ini sudah terlalu jauh. Mati ?

“Maksudmu ??”
“Bing, tidakkah kamu heran selama ini kenapa aku tetap dalam rengkuhan suamiku. Itu bukan karena ia mencintaiku atau aku mencintainya. Tapi aku terlalu tahu bisnisnya. Membiarkanku jatuh ke tangan orang lain sama saja membunuh bisnisnya. Aku bisa mati kapan saja. Aku siap untuk itu, tapi tidak untuk anakku. Aku ingin melihatnya tumbuh seperti kamu. Sangat tradisional dengan etika yang teguh".

Aku diam terpaku menatap matamu untuk melihat kesungguhan itu. Ada kebahagian mengelus dadaku, pelan dan melegakan. Ternyata kamu mencintaku Ira…

Aku berpikir cepat. Menimbang semuanya dalam tempo sepersekian detik. Tapi rasanya otakku tidak secemerlang seperti biasanya. Hanya hatiku berkata aku harus melepaskanmu apapun yang terjadi,. Tanpa meminta persetujuan dengan nalar aku mantap..
“Oke aku akan melakukannya”. Kulihat helaan nafas lega dan senyum lebar. Kau bersiap memelukku

“Tapi…..aku menukas kembali. “untuk keamanan bersama, aku tidak akan mengatakan padamu dimana dan dengan siapa anakmu. Tentu aku tidak akan membawanya sendirian”
“Bing, terima kasih. Aku percaya padamu. Apapun kulakukan untuk anakku. Singkirkan dia jauh-jauh dari sini, dari aku dan ayahnya.

Aku tak percaya dengan keputusanku barusan. Paling gila yang pernah kulakukan. Membawa lari anak tokoh ternama di negeri ini ? Apa yang harus kulakuan. Aku terdiam, sadar dan otakku mulai berjalan menyusun rencana. Kamu tidak kuberitahu detailnya, karena itu permintaanmu.

Kita berpisah kemudian setelah melakukan shoot camuflase. Beberapa shoot standar yang kubuat di halaman belakang warung. Dengan baju yang kau bawa saat itu juga.
Kau terlihat sayu, tapi aku bersikeras membiarkannya. Make-up seadanya. Aku ingin kamu tampil senatural daun yang berguguran. Dengan lighting seminim mungkin.

Sangat susah membuatmu tersenyum, tapi aku menghiburmu dan menenangkanmu.


Aku akan melakukannya Ira. Apapun yang terjadi. Untukmu.

Semua kembali normal. Aku kembali ke meja produksi dan mengolah hasil photomu yang oleh Agus sang editor dibilang briliant. Tampil berbeda dengan ide luar biasa katanya. Aku tersenyum saja sembari mengucap terima kasih untukmu. Kamu memang cantik dalam keadaan bagaimanapun. Namun rencana tetap dijalankan.

Aku tak pernah mendengar kabarmu lagi. Aku rindu. Melihat matamu yang menari dan bercerita tentang budaya yang tak habis-habisnya. Yang pertama membuatku takjub karena kamu berbeda dengan artis kacangan yang susah payah ingin terkenal. Aku ingin mendengarmu kembali. Aku kehilanganmu.
Ira, bisakah kau menghubungiku ?

Salam hangat
Bing


----------------

Aku masih sibuk membongkar file data tentang pemotretan tahun lalu ketika Agus, editorku menghambur ke arah mejaku.
“Bing kapan kamu ketemu Ira Wijaya”
Aku mengerut dahi. “Kenapa?”
Agus bersikeras, “Kapan?”.
Mukanya lebih serius dari sebelumnya.
“Ehm…..Aku mengingat-ingat persisnya. “Kira-kira 4-5 minggu lalu pas pemotretan di Warung Kampoeng Doeloe”

Agus terlihat lega. Ia mulai menurunkan nada suara dan menengok kiri kanan. Agaknya semua awak redaksi dan foto tak terlihat batang hidungnya, kecapean setelah deadline semalam.
“Aku terima telfon dari editor Asiaweek yang melakukan investigasi kejahatan organisasi di Asia. Mereka mengaku mendapatkan sumber kuat dari orang dalam. Cuma mereka minta bantuan kita mewawancarai salahsatu tokoh yang mereka anggap punya link langsung. Dan surprise..surprise, mereka ingin bicara dengan Antonius Wijaya tokoh hebat kita. Mereka menemukan cover istrinya di majalah edisi agustus. Mereka ingin bicara denganmu.”

Aku terdiam mendengarkan dan “Tapi aku tidak pernah ketemu Ira Wijaya lagi selepas pemotretan itu”.
“Yah katakan saja kamu usahakan. Come on Bing kamu biasanya semangat empat lima kalau kutugaskan pemotretan dengan Ira”.
“Tapi ini lain kasus, Gus”

“Oke cari dia, bilang kita akan melakukan pemotretan tentang trend mobil mewah 2004 dengan dia sebagai modelnya. Aku tugaskan Widya denganmu untuk mewawancainya. Eksklusif. Enam halaman plus ruang tak terbatas untuk fotomu. Tawarkan padanya tentang Asiaweek itu untuk disampaikan ke suaminya. Ini segera dan mendesak”
Nada bossy-nya mulai terlihat. Aku tergiur, bukan karena space yang bakalan diberikan padaku tapi aku harus menemukan alasan untuk bertemu Ira. Ini lebih penting dan ini saat terbaik.

“Oke, beri aku dua hari melacaknya”. Agus mengangguk sambil menepuk bahuku, sambil berbisik “Ingat, jangan cerita dulu tentang Asiaweek itu. Aku ingin menugaskan kamu untuk investigasi lanjut nantinya bareng mereka.”
Aku cuma mengangguk, tersenyum tawar. Bergegas aku ke agen Ira untuk membuat janji pemotretan. Kata Diana-agennya, Ira tidak pernah terlihat lagi semenjak terakhir pemotretan denganku. Ira meminta istirahat total dari semua kegiatan hingga waktu tak ditentukan. Aku membujuk Diana dan menjanjikannya dengan tawaran yang tidak bisa ditolaknya. Dia berjanji untuk menghubungiku secepatnya.

Aku tidak punya nomor hpnya karena Ira melarangku. Katanya karena kita profesional dan harus terlihat profesional. Aku terima itu, tapi ini mulai menyulitkanku. Diana juga menyatakan keherannya dengan keberadaan Ira. Aku coba kontak siapapun yang berhubungan dengannya (kecuali suaminya tentu).
Nihil.

Kekhawatiran menghinggapiku. Aku tahu ini mungkin terjadi, tapi Tuhan jangan secepat ini…. Aku berdoa, bergumam lirih padaNya memohon bantuan. Pencarianku tanpa hasil kulaporkan Agus sore harinya. Agus tampak gemas.
“Bing, bener kamu sudah kontak semua?”, nadanya seperti tidak percaya dengan usaha kerasku.
Aku menggeleng sendu “Aku coba semuanya Gus. Nampaknya Ira seperti menghilang tanpa jejak. Satu-satunya kemungkinan adalah menanyakan langsung suaminya. Kupikir kamu lebih berhak melakukannya sebagai senior editor”.

Agus menyumpah lirih. Aku tahu cepat atau lambat ia harus berhadapan dengan target sesungguhnya. Antonius Wijaya.
“Oke aku kontak AW nanti malam, kukabari secepatnya jika dia memberi jawaban”.

--------------

“Bing, AW dan istri bersedia diwawancarai besok siang di rumahnya jam 1.
Widya denganmu. Siapkan semuanya”.

Pesan voicemail Agus terdengar jelas walau aku barusan bangun. Sialan gumamku. Dalam waktu kurang dari 3 jam aku harus menghadapi suami Ira. Aku langsung meluncur dengan ojek ke kantor menyiapkan strategi wawancara dengan Widya di ruang editor. Nampaknya Agus telah memberitahu Widya tentang rencana kolaborasi dengan Asiaweek. Terlihat segepok data tentang suami istri itu di meja Agus yang terbuka lebar-lebar lengkap dengan foto-fotoku. Rangkumam pertanyaan rupanya sudah dipersiapkan Agus dan Widya sejak tadi malam. Aku melihat nampaknya mereka kurang tidur semalaman.

“Bing, Asiaweek confirm mereka akan memakai kita sebagai cover-up. Nanti bakal ada journalist mereka membelakangi kita. Tadi malam aku dan Widya menghabiskan waktu dengan Singapore untuk mengambil view yang bagus untuk memulai.
Aku cuma meminta kamu untuk pemotretan selaiknya Ira sebagai model. Widya akan menanyakan bisnis automotif suaminya untuk mengorek. Aku ingin kalian play safely disini. Jangan offensive interview, sebut saja ini preliminary study untuk Asiaweek. Oke?”

Kami membisu. Aku tersadar betapa kuatnya posisi Antonius Wijaya di negeri ini. Ini membuatku makin ciut. Nyaliku ternyata tak sebesar yang kubayangkan. Wajah Ira melintas, itu membuatku setengah terperanjat.

Agus melihatku “Bing ada apa?”
“Ah enggak, cuma kayaknya tadi aku liat seseorang”.
“Siapa?”
“Temen”, ujarku singkat sebelum kekhawatiranku makin jauh.

-------------

Rumah itu sangat besar dengan pintu gerbang ala Mediteran yang terlihat tegar membentengi area berskala hampir 1ha (sesuai data property yang kita punya). Seorang satpam bertampang seram menghentikan kami. Aku melirik selintas, paling tidak tiga sampai empat orang penjaga berbaju sipil berkeliaran.

Widya menyampaikan maksudnya. Satpam menanyakan identitas kami plus kartu pers dan surat tugas. Sang satpam membandingkan foto kami dengan kartu ID yang terhampar di meja. Ia menghampiriku cepat dan memerintahkan semua peralatan photograper digelar di hadapannya.

Dua camera manual dan digital, satu manual dengan lens bukaan khusus, beberapa lens, bulb untuk lighting, thermolight, cadangan baterai dan film backup dan sebagainya terpaksa kujelaskan satu persatu. Satpam mahfum bergaya sok tahu, melepaskan kami sambil menjelaskan peraturan-peraturan seperti laiknya memasuki gedung pemerintah.

Widya terlihat gelisah, sama gelisahnya dengan aku. Beberapa kali penugasan dengannya belum pernah dia seperti ini.
“Kamu nggak apa-apa Wid?”, tanyaku basa-basi. Widya sekilas melirik dan tersenyum menghibur diri
“Aku keliatan nervous ya Bing? Ini mungkin wawancara terpenting selama karirku. Kamu sih sudah biasa dengan istrinya. Tapi kamu juga keliatan nggak sehat. Sakit?
“Nggak, kali’ masuk angin aja. Nanti juga beres setelah diobatin”.

Aku masih menyembunyikan kegalauan ini dalam-dalam. Satu orang nervous cukup membuat wawancara ini berantakan dan habislah kesempatanku bertemu Ira.
Satpam berjalan di muka kami sambil menunjukkan jalan pintas menuju taman belakang. Sebuah kolam renang terhampar sejuk, disela rimbunan pohon-pohon tropis dan gemericik air mengalir dari fountain kolam.

Betapa indah rumahmu Ira, sayang kau tidak menikmatinya.

Satpam memerintahkan kami menunggu kursi taman. Aku dan Widya menyiapkan semua piranti. Di sisi lain aku menyiapkan perasaanku untuk bertemu Ira.

Aku membawa kabar gembira untukmu Ira.

Antonius Wijaya berjalan gontai dengan anak buah di samping kiri kanannya. Ia mencoba tersenyum ramah, walau terlihat gagal. Aku bersikap profesional dan membiarkan Widya memperkenalkan diri. Sebelum mulai kami meminta beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pemotretan. Hal yang disukainya dan tidak disukainya.

Berbeda denganmu Ira. Kamu bersedia pose dengan arahan gaya seadanya.

Basa-basi aku menanyakan istrinya. Katanya" Oh...biasa perempuan, pakai berdandan dulu. Nanti juga akan menyusul", sedikit memberi keyakinan. Aku terdiam dan berusaha berkonsentrasi dengan ruang dan cahaya. Widya mulai mengeluarkan catatannya dan mengajukan pertanyaan ringan. Nampak ia sudah bisa menguasai diri dengan baik berkat pengalamannya. Wijaya sedikit mulai bereaksi ketika Widya menanyakan suku cadang pabrik automotivenya. Dalam rangkuman kami, Wijaya memngoperasikan beberapa kegiatan kriminalnya lewat jasa eksport import.

Ira cepatlah keluar sebelum kami diusir....


to be continued



















Comments